Mae
Pagi
itu, dia tertegun memandang notifikasi di handphone-nya.
Padahal sinar matahari sudah masuk ke kamarnya melalui sela-sela tirai
bermotifkan bunga musim semi. Beberapa detik kemudian, meledaklah sudah senyum
dan tawa bahagianya. Tak tertahan sudah kegembiraannya, dengan cepat dia turun
dari kasurnya. Tanpa kontrol dia membuka pintu kamar, lalu berlari menuruni
anak tangga, menemui ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Dia tidak
bisa menahan lagi ucapannya dan Ibunya hampir setengah teriak mendengar kabar
baik keluar dari bibir manis anaknya, sekejap ibunya menatap dia, lalu memeluk
anaknya dengan bangga.
Genap
dua bulan dia menunggu pengumuman itu. Tidak banyak yang dia harapkan, dia
cukup tenang dalam penantian, dia gantungkan harapannya pada Tuhan semesta
alam. Seketika dengan penuh rasa syukur, dia berdoa untuk sinar matahari yang
menerobos jendela kamarnya, dia berdoa untuk angin pagi yang menyapanya, dia
berdoa untuk awan dan langit yang menaunginya. Dia bersyukur, berterimakasih
untuk nikmat yang Tuhan berikan padanya.
Pagi
itu dia menerima pengumuman resmi bahwa dia mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Bagaimana bisa dia bersikap biasa
saja? Dia tidak mungkin bisa bersikap biasa saja, apa yang dia damba-dambakan
terwujud menjadi kenyataan. Keinginannya untuk mengikuti program pendidikan
formal hingga jenjang tertinggi adalah cita-citanya yang tidak bisa diganggu
gugat! Padahal sebelumnya dia sempat mengurungkan niatnya untuk melanjutkan
pendidikan karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Ibunya tidak mungkin
membiayai pendidikannya ke jenjang magister karena masih ada adiknya yang
memerlukan biaya banyak untuk sekolah. Jikapun harus membiayai sendiri, rasanya
dia tidak akan sanggup. Upah guru saat itu tidaklah lebih baik dari upah
pembantu rumah tangga. Apalah daya, saat itu dia hanya seorang guru.
Namanya
Mae, anak pertama dari dua bersaudara. Sosok wanita mandiri yang ketika
dihadapkan pada masalah dia hanya menyimpannya untuk diri sendiri. Seorang
gadis yang ceria dan tegar dalam menjalani hidup. Selama kuliah, enam malam
dalam seminggu dia habiskan untuk mengajar anak-anak yang berada disekitar
rumahnya. Dedikasi dia terhadap pendidikan anak usia dini cukup tinggi. Banyak
anak-anak yang datang kerumahnya untuk belajar, kebanyakan dari mereka menyukai
keceriaan dan keramahan Mae. Anak-anak juga senang belajar dengan ibu guru yang
cantik dan menarik. Mae memiliki rupa yang tidak terlalu buruk untuk ukuran
perempuan sebayanya. Mae cukup cantik, walaupun tidak termasuk dalam standar
kecantikan wanita yang diinginkan pria.
Pernah
disuatu malam Mae menemui catatan deadline
tugas kuliah, ada banyak tugas yang belum dia selesaikan, belum lagi dia harus
membantu ibunya membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan. Suasana
semakin crowded ketika anak-anak
mulai datang kerumah, menandakan jam belajar harus segera dimulai. Pikiran Mae
mulai tak karuan, dia cemas akan tugas-tugasnya yang belum selesai, namun
disisi lain dia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai guru bimbingan belajar.
Mae menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai mengajar malam itu, bagaimanapun
dia harus menuntaskan tanggung jawabnya satu demi satu. Walaupun jasa Mae
dibayar secara sukarela, Mae tetap mengajar dengan sisa-sisa semangat yang
dimilikinya.
Di
penghujung malam, ketika hendak mengerjakan tugas, Mae merasa sangat lelah. Mae
merasa dirinya memiliki beban yang teramat berat, dia tidak pernah merasa
selelah ini sebelumnya. Malam itu Mae hampir saja menyerah. Dia mulai berpikir
bahwa dia seharusnya hanya fokus kuliah. Niat untuk meninggalkan bimbingan
belajarnya pun mulai berletupan. Berulang kali dia memikirkan hal itu. Sampai
pada akhirnya dia menyampaikan keluhannya kepada mamanya, dan mamanya hanya
meminta Mae untuk memikirkan hal itu baik-baik, semua keputusan kembali kepada
Mae.
Malam
itu, setelah bertemu dengan mamanya, Mae meninggalkan tidurnya. Dia mencoba
melupakan rasa kantukanya. Dengan berat langkah dia menuju dapur dan membuat
kopi hangat, sekedar untuk menemaninya bertugas malam ini. Mae harus mengerjakan
tugas-tugas kuliah dengan segera, karena besok pagi tugas-tugas tersebut harus
dikumpulkan.
Malam
berikutnya, dengan kesibukan yang sama, Mae mulai menenangkan dirinya yang
cemas. Bagaimanapun dia harus memilih mana yang terbaik untuk kehidupannya. Salah
satu kebiasaan Mae adalah menuliskan hal-hal yang dia inginkan, jika hal yang
dia inginkan masih diambang keraguan, biasanya terdapat keterangan tambahan
berupa baik dan buruknya pilihan tersebut. Hal itu seperti memberi (tambahan)
pilihan dalam beberapa pilihan yang tersedia. Semakin bingung lah dia. Bingung
yang muncul karena kebingungan dirinya sendiri.
Malam
demi malam Mae lewati dengan penuh dilema. Mae harus segera memutuskan pilihan
mana yang harus dia ambil. Apakah dia harus meninggalkan bimbingan belajarnya
dan fokus kuliah, ataukah dia akan tetap bertahan menjadi guru sukarela di
bimbingan belajarnya dan menerima segala konsekuensinya? Pilihan yang tiba-tiba
muncul ketika dirinya merasa sangat lelah ini bukan semata-mata pilihan yang
datang dari dirinya sendiri. Tuhan datangkan pilihan ini untuknya agar dia
berpikir dan berdoa. Tak jarang Mae menghabiskan malamnya untuk berdoa. Pilihan
yang datangnya dari Tuhan harus digantungkan kepada doa. Setelah Mae memikirkan
keraguannya tersebut, akhirnya Mae yakin kalau dia harus melanjutkan bimbingan
belajar yang telah dibangunnya selama ini.
Kesibukannya
tidak hanya dirumah, di kampus Mae diberi amanah sebagai bendahara. Mae menjadi
bendahara sekaligus di dua organisasi mahasiswa. Tak jarang karena saking
sibuknya mengurusi pemasukan dan pengeluaran organisasi yang begitu besar, dia
keliru dalam urusan hitung menghitung, dan pada akhirnya dia harus mengganti
kekurangan uang organisasinya tersebut dengan uang miliknya sendiri. Kadang Mae
kurang teliti dalam melakukan sesuatu. Begitulah Mae. Yaa lebih tepatnya dia
bukan wanita yang cukup teliti soal urusan uang dan hitung menghitung. Dia
hanya memiliki tekat untuk membantu sesama semaksimal yang dia bisa. Terkadang
dia melupakan dirinya sendiri hanya untuk mengurusi orang lain. Namun dia tetap
semangat menjalani semua itu sendirian.
Sampai
dengan akhirnya Mae lulus kuliah dan bekerja menjadi guru di salah satu sekolah
dasar swasta, dia masih mengajar sukarela di bimbingan belajarnya. Setelah
lulus kuliah Mae terlepas dari tugasnya sebagai pengurus organisasi kampus,
tetapi Mae harus tetap disibukan kembali dengan tugas barunya menjadi asisten
dosen di kampusnya. Walaupun hanya menjadi asisten dosen, Mae tetap dipusingkan
dengan berbagai hitungan dan statistik penelitian. Lagi-lagi Mae harus kembali
menghadapi hitung-menghitung.
Mae
tetap menikmati semua pekerjaannya. Dia tidak membiarkan apa yang dia cari
mengambil alih hembus nafasnya. Dia
tetap bisa berbahagia dengan caranya sendiri. Dia bahagia dengan apa yang telah
dipilihnya dan bagaimanapun dia harus tetap bahagia. Setiap orang berhak untuk
berbahagia, setiap orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.
Mungkin
kalian juga pernah merasa jika lelah yang kalian alami sudah berada
dipuncaknya, atau bahkan dengan cerita yang lebih dramatis dari apa yang Mae
alami. Setiap orang dalam hidupnya seperti memiliki siklus yang sama dengan
cerita yang berbeda. Begitulah Mae menghadapi lelahnya. Bagaimana denganmu?
Mae
dan Bandung
Hingga
pada akhirnya dia lolos seleksi program beasiswa magister, dia harus resign dari semua pekerjaan yang
membelenggunya. Dia mulai resign
menjadi guru di sekolah dasar, berhenti menjadi asisten dosen, dan yang paling
berat adalah meninggalkan bimbingan belajarnya. Mae (mau tidak mau) harus meninggalkan
Bandung karena dia harus mengikuti salah satu program pelatihan bahasa di
Yogyakarta yang diberikan oleh lembaga beasiswanya. Tidak ada yang salah dari
Yogyakarta, bahkan Mae lulus seleksi ujian masuk pascasarjana disana. Bukan
dengan hati yang berat bahwa dia harus menjalani hari-harinya di Yogyakarta
selama kurang lebih dua tahun kedepan. Walaupun bagi Mae Bandung lebih dari
sekedar cerita. Di Bandung kebahagiaan, luka, tawa, dan air mata terurai
menjadi warna-warni kehidupan Mae.
Bandung,
disana, disela-sela kesibukannya, Mae selalu meluangkan waktu untuk Me Time. Tak jarang dia pergi ke
perpustakaan sendirian hanya untuk merasa sendiri. Terkadang dia merasa
hidupnya terlalu crowded, sehingga
sesekali dia memerlukan waktu untuk sendiri. Jika bosan ke perpustakaan
terkadang dia pergi ke masjid, atau ke taman di belakang gedung rektorat
kampus. Namun tempat yang paling sering dikunjungi Mae adalah perpustakaan.
Padahal Mae tidak gemar membaca, dia hanya senang membolak balik buku yang
isinya penuh dengan gambar-gambar yang menarik.
Karena
sering pergi sendirian, semakin lama Mae semakin terbiasa sendiri, berbeda
dengan teman-temannya di Bandung. Kebanyakan teman-teman perempuan Mae tidak
bisa pergi jalan-jalan sendirian. Kebanyakan dari mereka meminta Mae untuk
menemani mereka. Sedangkan Mae sendiri
tidak pernah mengajak teman jika hanya ingin sekedar jalan-jalan atau membeli
sesuatu. Mae selalu lakukan itu sendiri. Salah satu fakta unik dari Mae adalah
dia memiliki kesulitan untuk menolak ajakan teman, dia tipe perempuan yang “yes
girl”. Jarang sekali dia menentukan sesuatu untuk sesuatu yang lain, dia lebih
sering menerima tugas daripada memberi tugas. Dia tidak mendominasi tapi tidak
juga didominasi. Mae bisa sangat dengan mudah menerima ajakan, saran, kritik,
dan komentar yang disampaikan dengan
bahasa yang bisa dipahaminya.
Masih
Bandung, dan cinta
Terlebih
tentang cinta, Bandung menyimpan banyak kenangan dan memori tentang luka. Kenapa
kebahagiaan sangat mudah tertutupi oleh luka? Kenapa seseorang lebih mudah
mengingat tentang luka-lukanya ketimbang bahagianya? Memang lebih mudah
mengingat keburukan seseorang ketimbang mengingat kebaikannya.
Di
Bandung, beberapa cinta datang dan pergi, silih berganti menyapa kehidupan Mae.
Awalnya memberi kebahagiaan, harapan, dan penuh janji. Namun pada akhirnya itu
semua hanya omong kosong. Harapan hanya tinggal harapan, janji hanya sebatas
ucapan, yang tersisa hanya luka hati yang belum tentu bisa dengan mudah
dilupakan. Dulu Mae bisa saja menghindar dari pahitnya cinta, namun dia pilih
begitu. Sudah menjadi konsekuensinya.
Mae
bukan wanita yang sulit jatuh cinta, tapi dia juga bukan wanita yang mudah
melupakan. Dibeberapa kesempatan Mae memang kesulitan untuk move on, kesulitan untuk melupakan
itulah yang membuat dia menganggap bahwa semua cinta yang telah dijalaninya
selama ini hanya mematahkan, melukai, dan berakhir begitu saja. Dia juga bukan
wanita yang mudah meninggalkan. Mae wanita yang selalu ingin berkomitmen, bisa
dikatakan bahwa Mae masuk dalam kriteria wanita setia atau apapun itu namanya,
begitulah Mae. Mae yakin bahwa dia akan selalu menemukan kembali cintanya.
Cepat atau lambat dia akan menemukannya.
Sampai
Jumpa Bandung dan Selamat Datang Yogyakarta !
April,
lembaran baru bagi Mae, karena kini dia tidak lagi di Bandung, melainkan di
Yogyakarta. Disana Mae menemukan banyak teman, cerita, dan cinta yang
benar-benar baru. Masih teringat olehnya ketika dia menemukan kembali perasaan
itu. Ya, disana dia menemukan cinta. Sebut saja cinta. Atau apalah ini namanya.
Anggap saja seperti itu.
Selamat
Mae! Mae kembali menyukai seseorang, untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama
Mae larut dalam perasaan luka. Akhirnya Mae kembali menyukai seseorang. Siapakah
laki-laki yang membuat Mae kembali jatuh cinta? Ia adalah sosok laki-laki yang
tenang, tidak terlalu banyak berucap, namun selalu menepati janji-janjinya.
Tuan Crab bilang sih “laki-laki sejati tidak pernah ingkari janji.” Siapakah
laki-laki itu? Yaa.. Sebut saja namanya Nana.
Disaat
perasaan Mae meletup-letup riang, Mae berusaha dekat dengan Nana. Sayangnya
Nana bukan laki-laki yang mudah didekati. Tidak banyak yang Mae tau tentang
Nana. Pernah suatu saat dia mengirim pesan kepada Nana hanya untuk menanyakan
letak apotik disekitaran kampus. Pernah
Mae mencuri-curi tempat duduk agar bisa dekat dengan Nana. Pokoknya Mae
berusaha dekat walaupun hanya sekedar bertanya hal-hal yang kurang penting.
Namun sayangnya, langkah Mae untuk mendekati Nana terhenti. Ada hal yang
membuat Mae tidak lagi bisa mendekati Nana. Mae menyerah, Mae tidak bisa lagi.
Padahal jauh didalam hatinya, Mae ingin selalu dekat, tapi mungkin tidak untuk
saat itu. Apa yang membuat Mae tidak lagi mendekati Nana saat itu? Biarkan
hanya Mae, Tuhan, dan Nana yang mengetahuinya.
Pilihan
untuk Mae.
Beberapa
saat setelah Mae memutuskan diri untuk tidak lagi mendekati Nana, ada salah seorang
teman Mae di pelatihan bahasa yang sempat membuat Mae terpana dengan kata-kata
manisnya, namanya Mister. Ah perempuan! Pada dasarnya perempuan memang suka
dibisikan kata-kata manis. Mister pernah membaca semua tulisan di blog Mae, dan
memberi Mae seuntai kata-kata indah bak mutiara. Rupanya Mae mudah menyukai
seseorang, namun Mae tetap tidak bisa melupakan Nana.
Disaat
yang bersamaan dengan datangnya Mister dalam kehidupan Mae, datang lagi seorang laki-laki bernama Bambang
yang dikenalkan oleh temannya Mae di Yogyakarta. Teman Mae yang berasal dari
Bandung pun menjodohkan Mae dengan seorang laki-laki Jawa bernama Joko. Teman-teman
Mae begitu peduli dengan percintaan yang Mae jalani. Sangat Peduli !
Mae
benar-benar dibuat dilema dengan sekaligus datangnya beberapa lelaki dalam
kehidupan Mae. Tidak pernah sebelumnya Mae didekati oleh tiga laki-laki
sekaligus. Mae seperti berada dititik terendah perjalanan cintanya. Kini
biarkan Mae memilih salah satu dari mereka
secara rasional dilihat dari profilnya.
Mister,
laki-laki tampan yang cukup rupawan. Perempuan
mana yang tidak menganggapnya tampan, selain tampan, kepandaiannya dalam
merangkai kata-kata membuat Mae kagum dan membuatnya menyukai Mister. Pemikiran
Mister yang cerdas membuat orang-orang senang berdiskusi secara serius
dengannya. Tidak adalagi yang bisa mendeskripsikan sosok Mister, namun satu hal
yang Mae ingat bahwa dirinya pernah dikecewakan oleh Mister.
Bambang,
pria yang humoris, cukup dewasa, dan secara fisik dia sangat menggemaskan!
Bagaimana tidak? Bambang memiliki perut yang buncit, dan sudah sejak lama Mae
menginginkan laki-laki berperut buncit menggemaskan. Satu hal yang mengecewakan
dari Bambang adalah dia tidak bisa melupakan masa lalunya.
Joko,
sosok laki-laki serius yang sangat cerewet, tubuhnya yang tinggi dan kurus
benar-benar membuat dia terlihat seperti sosok bapak presiden kita saat ini. Joko
selalu memberikan hal-hal yang Mae anggap “mahal” untuk dirinya. Dokter hewan
ini bahkan berencana memberikan Mae kucing Himalaya yang harganya jutaan, namun
tentu saja Mae menolaknya. Sikap sombong Joko lah yang membuat Mae tidak lagi ingin
mengenalnya. Bahkan ketika Joko berusaha menghubungi dirinya, Mae benar-benar
menghindar.
Sayangnya,
Mae menjadi begitu irasional, dia tidak banyak mempedulikan kebaikan atau
profil yang cemerlang dari ketiganya. Mae benar-benar berada diposisi yang (mau
tidak mau) dia menjadi jahat dan salah. Mae pernah mengenali ketiganya, tidak
ada yang salah dari ketiganya. Mae yang salah, sudah terpaksa mau mengenali
ketiganya. Seolah-olah Mae memberikan harapan semu kepada mereka, tapi bukan
begitu.
Mereka
hanya tidak mampu membaca Mae. Mereka tidak mengetahui Mae yang sebenarnya,
namun kini satu persatu mulai menjauh karena sikap Mae yang tidak lagi ramah
kepada mereka. Terkadang sikap “seperlunya” itu diperlukan agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam menjalin pertemanan dengan laki-laki.
Bagaimana
bisa Tuhan memberikan begitu banyak pilihan padahal Mae sudah memilih satu
dalam hatinya? Apakah niat Tuhan hanya ingin membuat Mae tergoda untuk memilih
yang lain?
Ketiga
laki-laki itu tidak seperti Nana. Sangat jauh berbeda dari Nana yang tidak bisa
terdeskripsikan. Ini semua bukan tentang pilihan yang diberikan Tuhan. Bukan
tentang Mae harus memilih yang mana. Ini tentang potongan puzzle yang telah
lama hilang lalu tergantikan dengan potongan puzzle yang baru. Cinta bukan soal
pilihan, cinta hanya soal keyakinan. Keyakinan dalam mencintai bukan keyakinan
yang “cukup yakin” atau “setengah yakin”. Harus menjadi benar-benar sepenuhnya
yakin. Jika Mae sudah yakin dengan apa yang dia anggap cinta, kenapa dia harus
memilih yang lain. Mae menyukai ketiga pilihan yang diberikan oleh Tuhan
untuknya, tapi tidak untuk mencintainya, tidak juga untuk dipilih olehnya.
Tuhan telah memberikan banyak pilihan, tapi Tuhan menetapkan satu. Satu itu
adalah ketetapan bukan pilihan.
Damainya
bulan-bulan setelah Mei.
Pelatihan
bahasa berupa toefl preparation tidak
cukup sukses bagi Mae. Dia memiliki skor akhir yang bisa dikatakan rendah,
secara tidak langsung Mae bisa dikatakan gagal dalam ujian toeflnya. Sebuah kekecewaan
besar bagi Mae. Dia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal
mengatasi perasaannya yang “tidak menyukai bahasa Inggris”. Dia gagal mengatasi
rasa cemasnya ketika ujian. Dia gagal mengatasi rasa malasnya untuk belajar
toefl. Itulah kesalahan terbesarnya! Malas!
Saat
itu dia memang gagal dalam banyak hal! Sebelumnya pernah beberapa kali Mae
gagal dalam hal tertentu, namun dia tidak pernah larut dalam kekecewaan pada
sebuah kegagalan. Dia segera menyadari hal-hal apa yang salah pada dirinya
sehingga membuatnya gagal. Dia tidak membiarkan waktu yang dia miliki habis
oleh kesedihan. Dia selalu ingin dirinya bahagia.
Sore
hari di pemakaman nenek dan kakeknya, Mae berdoa dengan tenangnya. Berdoa untuk
kakek dan neneknya yang telah lama meninggalkannya. Berdoa untuk dirinya
sendiri. Berdoa untuk harapan-harapan yang dia gantungkan kepada Tuhan.
Sore
itu, dia memang masih tenggelam dalam kekecewaan karena dia gagal mencapai
target skor toeflnya, masih sulit untuknya tersenyum sekedar memberi tanda
ramah kepada orang sekitarnya. Mae benar-benar berlebihan menyikapi
kegagalannya. Namun tak lama Mae sadar, dia segera bangkit dari duduknya,
melihat sekitar pemakaman yang suasananya damai. Sinar matahari sore dan semilir angin yang
menyingkap tubuhnya menyadarkannya bahwa tidak mungkin dia membiarkan dirinya
tidak bahagia sedangkan hidup hanya sesingkat matahari terbit dan tenggelam.
Dia
menyadari suatu saat dia akan bernasib sama dengan apa yang dilihatnya saat
itu. Suatu saat dia akan meninggal, tidaklah mungkin dia membiarkan dirinya
menangis. Sore itu dia berhasil mendamaikan hati dan pikirannya.
Mae
memiliki keyakinan bahwa Tuhan memberikan jatah “gagal” yang sama kepada setiap
makhluknya. Setiap orang juga memiliki jatah “sukses” yang sama. Hanya saja
kita tidak akan pernah tau kapan kita akan sukses dan kita akan gagal. Kita
juga tidak akan pernah tau dalam hal apa kita akan sukses dan kita akan gagal. Mae
hanya tidak ingin dia gagal disaat dia telah beranjak “tua”. Mae ingin
menghabiskan jatah gagalnya saat ini juga, saat dia masih muda. Keyakinannyalah
yang membuat hati dan pikiran Mae damai.
Mungkin
secuil kisah tentang kegagalan Mae bisa dijadikan pelajaran untuk kita agar
lebih menghargai waktu yang Tuhan berikan.
Mae
Terlepas
dari semua itu, kini Mae cukup senang bisa dekat dengan pilihan hatinya. Bukan
bagian dari pilihan yang diberikan Tuhan. Melainkan memang didatangkan Tuhan
untuk menjadi satu-satunya potongan puzzle di hatinya Mae. Walaupun Mae tidak
tau bagaimana perasaan Nana kepadanya, Mae tidak begitu mempedulikan apakah
Nana mencintainya juga. Cinta tidak melulu soal pembalasan. Cinta akan tetap
menjadi cinta dengan keyakinanya, Mae tetap merasa senang walau kedekatannya
dengan Nana hanya sebatas teman. Tetaplah dekat. Tetaplah peduli satu sama
lain. Hingga waktu berpihak kepada kalian untuk bersama.
Saya
Saya
adalah penulis cerpen ini. Penulis cerpen ini adalah tuhan bagi tulisannya sendiri.
Saya adalah tuhan cerpen ini. Baik, benar, buruk, salah, dan segala khilaf
hanya bisa dimaafkan oleh diri sendiri.
No comments:
Post a Comment