Pages

Popular Posts

Sunday, July 31, 2016

Esai - Peran Strategis Pendidikan Pascasarjana di Era MEA



Pendidikan Pascasarjana yang SMART dalam Menghadapi MEA
Di era modern seperti saat ini masyarakat dihadapkan oleh berbagai tuntutan zaman, salah satunya adalah globalisasi. Masyarakat sudah harus siap dengan globalisasi terutama dalam bidang ekonomi. Berpijak pada hal tersebut maka suatu negara tidak bisa terlibat dalam ekonomi global tanpa adanya masyarakat global. Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang mulai memahami akan hal tersebut, oleh karena itu dibentuklah suatu komunitas masyarakat global di kawasan Asia Tenggara agar bisa turut serta berperan dalam perekonomian global. Komunitas masyarakat global tersebut adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan salah satu program dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Pada pelaksanaannya MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Sepuluh negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Myanmar, dan Filipina akan menjadi kesatuan pasar dan basis produksi sekaligus menjadi suatu komunitas besar yang mendorong kemajuan antar negara anggota. MEA mampu menghilangkan batas perekonomian antar negara anggota ASEAN baik itu dalam hal barang dan jasa, bursa saham, pasar modal, investasi, ekspor-impor, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya. Melalui MEA besar harapan masyarakat agar ASEAN menjadi kawasan makmur, stabil, berdaya saing tinggi, adil dalam pelaksanaan perekonomian global, dan dapat mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.
Bagi  masyarakat Indonesia MEA dapat menjadi peluang sekaligus  tantangan. Masyarakat bisa turut serta berkompetisi dalam kegiatan ekonomi berskala global dengan mudah, tanpa adanya hambatan birokrasi antar negara yang terlalu ketat, sehingga menstimulus pertumbuhan ekonomi nasional. Disisi lain masyarakat harus siap bersaing dengan jutaan pekerjaan asing yang memiliki kualifikasi tinggi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia karena banyak juga masyarakat Indonesia yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diluar negeri. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan tahun 2015 terdapat 705.608 warga Indonesia yang menjadi TKI diluar negeri (BPS, 2016, Hlm. 109). Kekhawatiran seharusnya muncul ketika masyarakat Indonesia belum siap berkompetisi dengan tenaga asing karena minim keterampilan dan pendidikan yang rendah. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan berbagai lembaga pendidikan agar tercipta sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan mumpuni sehingga siap untuk berkompetisi dalam MEA. Disisi lain pemerintah juga harus memaksimalkan SDM Indonesia yang sudah profesional agar tidak berpaling ke negara lain.
Masalah lain yang harus dihadapi Indonesia adalah pengangguran. Hasil survei angkatan kerja nasional (sakernas) menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2015 terdapat 7.560.822 orang yang pengangguran dari 122.380.021 orang yang dinyatakan angkatan kerja (BPS, 2016, Hlm. 90). Hal tersebut seharusnya mendorong Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja, membuka akses pasar dunia secara profesional, dan pemberdayaan sumber daya manusia yang unggul.
Pengembangan sumber daya manusia dilakukan dengan jalan pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, walaupun demikian jumlah sumber daya manusia yang berpendidikan tinggi masih bisa dikatakan sedikit, padahal seiring dengan berjalannya waktu kebutuhan akan sumber daya manusia yang profesional dan berpendidikan akan semakin tinggi. Menurut survei yang dilakukan oleh BPS tahun 2015 terdapat 10.210.481 orang yang berpendidikan diatas jenjang diploma tiga (D-III) dan 9.556.895 diantaranya aktif bekerja (BPS, 2016, Hlm. 94). Data tersebut menunjukan bahwa 92,60% orang yang pendidikan tinggi telah mendapatkan pekerjaan.
Disaat persaingan global muncul maka Indonesia harus mampu menyamakan kualifikasi  dengan negara lain dalam berbagai bidang khususnya pendidikan. Kini negara lain mulai meningkatkan standar kualitas pendidikannya karena tuntutan zaman yang semakin tinggi. Besar kemungkinan di masa yang akan datang standar minimal pendidikan bagi tenaga kerja adalah sarjana dan juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi seorang pekerja white collar minimal pendidikannya harus pascasarjana (S2 atau S3).
Salah satu pendidikan tinggi yang tidak kalah pentingnya dalam pemberdayaan sumber daya manusia adalah pendidikan pascasarjana. Terdapat banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pascasarjana. Survei tahun 2015 dari kemenristek dan kementerian agama terdapat 176 PTN dan 3.742 PTS yang tersebar di Indonesia. (BPS, 2016, hlm. 149). Walaupun tidak semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia menyelenggaran pendidikan pascasarjana, setidaknya angka tersebut menjelaskan kepada kita bahwa terdapat banyak sekali lembaga pendidikan yang bertanggung jawab menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan profesional.
Memberdayakan manusia bukanlah perihal yang mudah namun tidak sulit untuk dilakukan. Pengembangan sumber daya manusia memerlukan perencanaan yang matang, sasaran, serta pengawasan secara berkelanjutan. Menurut Stewart (1994, hlm. 140) terdapat lima hal dasar dalam pemberdayaan sumber daya manusia khususnya pemberdayaan melalui pendidikan tinggi, diantaranya adalah Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time (SMART). Lima hal ini menjadi dasar dalam memberdayakan manusia yang berkaitan dengan peran strategis pendidikan khususnya pendidikan pascasarjana dalam menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Specific (spesifik)
Berkompetisi di era MEA semua langkah dan rencana harus dibuat secara jelas dan spesifik. Bila sampai salah langkah maka Indonesia akan dengan cepat tersaingi dengan negara lain. Sesuatu yang spesifik dapat mempermudah langkah kita dalam pergaulan di kancah MEA. Langkah-langkah yang jelas dan spesifik inilah yang menjadi dasar dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pendidikan pascasarjana memiliki peran yang cukup spesifik dalam membangun bangsa. Kebanyakan SDM yang lulus adalah ia yang mampu melakukan pemecahan masalah dengan tepat, melakukan indentifikasi masalah dengan cepat, dan mampu berpikir lebih baik di bidangnya masing-masing. Pendidikan pascasarjana memiliki spesifikasi dalam berbagai bidang ilmu yang nantinya akan menciptakan spesialisasi pekerjaan yang berbeda satu sama lain. Menurut Conway (2011, hlm. 26) dalam hal perekonomian jauh lebih baik dengan membagi pekerjaan dan berspesialisasi dalam hal yang dapat kita kerjakan paling baik. Spesialisasi dalam pekerjaan diperlukan dalam menghadapi ekonomi modern abad ke-21. Secara tidak langsung pendidikan pascasarjana merupakan salah cara dalam pemberdayaan manusia yang terspesialisasi dan memiliki tujuan yang spesifik.
Measurable (dapat diukur)
Bagaimanapun kita tidak bisa memungkiri bahwa di era MEA segala sesuatu diukur dengan angka dan angka adalah salah satu ukuran yang dijadikan  pembanding antar negara. Measurable atau sesuatu yang dapat diukur, dapat membantu kita dalam menentukan kesuksesan yang telah dicapai dengan jelas, sekaligus menjadi pembanding ketercapaian dengan negara lain. Pendidikan pascasarjana diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan tindakan konkrit. Mampu menangani suatu masalah tidak hanya sekedar memberi jawaban iya atau tidak, tetapi mampu berkontribusi lebih dalam upaya menyelesaikan masalah dan memperbaiki keadaan. Misalnya saja melalui berbagai penelitian kelangkaan bahan bakar minyak dapat diatasi dengan ditemukannya sumber energi baru, yang berdampak pada peningkatan angka indeks kesejahteraan rakyat. Pendidikan pascasarjana memberikan hasil penelitian yang jelas dan terukur dalam pengembangan berbagai bidang di Indonesia.


Achievable (dapat dicapai)
Guna menghadapi MEA kita tidak harus terburu-buru mengambil target yang terlalu tinggi, lebih baik kita mengambil tindakan selangkah demi selangkah dengan pasti. Dimulai dari langkah kecil oleh masing-masing individu sampai dengan langkah besar dengan skala global, dengan demikian masyarakat Indonesia dapat melangkah pasti mencapai tujuan demi tujuan. Bicara soal ketercapaian dalam dunia pendidikan, Indonesia harus belajar dari masa lalu. Beberapa tahun yang lalu Karla C. Shippely menyebutkan hasil penelitiannya bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang pernah mengalami kemunduran ekonomi menjadi contoh negara yang kurang seimbang dalam strategi pendidikan, hal tersebut disebabkan oleh keinginan yang melebihi kemampuan (2002, hlm. 117). Seiring dengan berjalan waktu pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan pascasarjana mulai didesain dengan pembelajaran yang kompetitif dan memenuhi validitas (dibuat tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah) sehingga dapat dicapai oleh setiap individu.
Relevant (sesuai dengan kebutuhan)
Di era MEA relevansi selalu diperhitungkan, pengembangan SDM tentunya harus relevan dengan kebutuhan zaman. Pendidikan pascasarjana membentuk SDM menjadi pribadi yang fleksibel yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Pribadi yang mampu mengikuti alur zaman tanpa harus terbawa arus dan juga bisa memahami kebutuhan masyarakat sesuai dengan zamannya karena sesuatu yang tidak dibuat sesuai kebutuhan akan menjadi hal yang sia-sia.
Kehadiran pendidikan pascasarjana kiranya sesuai dengan kebutuhan zaman yang semakin lama semakin menuntut kita untuk berpendidikan tinggi. Seseorang yang berpendidikan diharapkan memiliki karakteristik yang relevan dan sejalan dengan cita-cita bangsa yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkontribusi dalam kedamaian dunia.

Timed (Waktu)
Waktu adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Jika kita tidak dapat mengejar waktu maka kita akan tertinggal dalam segala hal. Di era MEA semua berpacu pada waktu. Siapa yang diam dan tidak bergerak maka dia akan tertinggal jauh di belakang. Bagi yang tidak ingin tergerus oleh waktu maka ia harus terus bergerak cepat. Masyarakat Indonesia yang tertinggal harus segera bangkit mengejar ketertinggalannya.
Pendidikan pascasarjana berperan aktif dalam membentuk SDM yang cekatan dan tanggap terhadap perubahan. Selain dari pada itu lulusan pascasarjana  harus menjadi pribadi yang open-minded dan mampu menyelesaikan target lebih cepat atau tepat pada waktunya, karena jika tidak tepat pada waktunya akan menghasilkan suatu ketertinggalan dalam berbagai hal yang nantinya akan menimbulkan masalah baru dan tentunya dapat merugikan diri sendiri.
Peran pendidikan pascasarjana dapat dilihat dari lima langkah SMART dalam  pemberdayaan manusia melalui pendidikan tinggi. Hal tersebut tentunya dapat mendorong masyarakat untuk berkembang, bangkit, dan mengejar ketertinggalan, sehingga dapat terwujud masyarakat global yang siap bersaing di era MEA. Penulis berharap pendidikan pascasarjana dapat menjadi salah satu jenis pendidikan yang memilki kontribusi besar dalam pergaulan MEA, sehingga mendorong Indonesia menjadi negara yang maju.

Referensi :
Badan Pusat Statistik. (2016) -----
Conway, Edmund. (2011) -----
Karla C. Shippely, J.D. (2002) -----
Stewart, Aileen Mitchell. (1994) ------

Sunday, July 17, 2016

Mae - Cerpen



Mae
Pagi itu, dia tertegun memandang notifikasi di handphone-nya. Padahal sinar matahari sudah masuk ke kamarnya melalui sela-sela tirai bermotifkan bunga musim semi. Beberapa detik kemudian, meledaklah sudah senyum dan tawa bahagianya. Tak tertahan sudah kegembiraannya, dengan cepat dia turun dari kasurnya. Tanpa kontrol dia membuka pintu kamar, lalu berlari menuruni anak tangga, menemui ibunya yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Dia tidak bisa menahan lagi ucapannya dan Ibunya hampir setengah teriak mendengar kabar baik keluar dari bibir manis anaknya, sekejap ibunya menatap dia, lalu memeluk anaknya dengan bangga.
Genap dua bulan dia menunggu pengumuman itu. Tidak banyak yang dia harapkan, dia cukup tenang dalam penantian, dia gantungkan harapannya pada Tuhan semesta alam. Seketika dengan penuh rasa syukur, dia berdoa untuk sinar matahari yang menerobos jendela kamarnya, dia berdoa untuk angin pagi yang menyapanya, dia berdoa untuk awan dan langit yang menaunginya. Dia bersyukur, berterimakasih untuk nikmat yang Tuhan berikan padanya.
Pagi itu dia menerima pengumuman resmi bahwa dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister. Bagaimana bisa dia bersikap biasa saja? Dia tidak mungkin bisa bersikap biasa saja, apa yang dia damba-dambakan terwujud menjadi kenyataan. Keinginannya untuk mengikuti program pendidikan formal hingga jenjang tertinggi adalah cita-citanya yang tidak bisa diganggu gugat! Padahal sebelumnya dia sempat mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Ibunya tidak mungkin membiayai pendidikannya ke jenjang magister karena masih ada adiknya yang memerlukan biaya banyak untuk sekolah. Jikapun harus membiayai sendiri, rasanya dia tidak akan sanggup. Upah guru saat itu tidaklah lebih baik dari upah pembantu rumah tangga. Apalah daya, saat itu dia hanya seorang guru.
Namanya Mae, anak pertama dari dua bersaudara. Sosok wanita mandiri yang ketika dihadapkan pada masalah dia hanya menyimpannya untuk diri sendiri. Seorang gadis yang ceria dan tegar dalam menjalani hidup. Selama kuliah, enam malam dalam seminggu dia habiskan untuk mengajar anak-anak yang berada disekitar rumahnya. Dedikasi dia terhadap pendidikan anak usia dini cukup tinggi. Banyak anak-anak yang datang kerumahnya untuk belajar, kebanyakan dari mereka menyukai keceriaan dan keramahan Mae. Anak-anak juga senang belajar dengan ibu guru yang cantik dan menarik. Mae memiliki rupa yang tidak terlalu buruk untuk ukuran perempuan sebayanya. Mae cukup cantik, walaupun tidak termasuk dalam standar kecantikan  wanita yang diinginkan pria.
Pernah disuatu malam Mae menemui catatan deadline tugas kuliah, ada banyak tugas yang belum dia selesaikan, belum lagi dia harus membantu ibunya membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan. Suasana semakin crowded ketika anak-anak mulai datang kerumah, menandakan jam belajar harus segera dimulai. Pikiran Mae mulai tak karuan, dia cemas akan tugas-tugasnya yang belum selesai, namun disisi lain dia harus menunaikan tanggung jawabnya sebagai guru bimbingan belajar. Mae menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai mengajar malam itu, bagaimanapun dia harus menuntaskan tanggung jawabnya satu demi satu. Walaupun jasa Mae dibayar secara sukarela, Mae tetap mengajar dengan sisa-sisa semangat yang dimilikinya.
Di penghujung malam, ketika hendak mengerjakan tugas, Mae merasa sangat lelah. Mae merasa dirinya memiliki beban yang teramat berat, dia tidak pernah merasa selelah ini sebelumnya. Malam itu Mae hampir saja menyerah. Dia mulai berpikir bahwa dia seharusnya hanya fokus kuliah. Niat untuk meninggalkan bimbingan belajarnya pun mulai berletupan. Berulang kali dia memikirkan hal itu. Sampai pada akhirnya dia menyampaikan keluhannya kepada mamanya, dan mamanya hanya meminta Mae untuk memikirkan hal itu baik-baik, semua keputusan kembali kepada Mae.
Malam itu, setelah bertemu dengan mamanya, Mae meninggalkan tidurnya. Dia mencoba melupakan rasa kantukanya. Dengan berat langkah dia menuju dapur dan membuat kopi hangat, sekedar untuk menemaninya bertugas malam ini. Mae harus mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan segera, karena besok pagi tugas-tugas tersebut harus dikumpulkan.
Malam berikutnya, dengan kesibukan yang sama, Mae mulai menenangkan dirinya yang cemas. Bagaimanapun dia harus memilih mana yang terbaik untuk kehidupannya. Salah satu kebiasaan Mae adalah menuliskan hal-hal yang dia inginkan, jika hal yang dia inginkan masih diambang keraguan, biasanya terdapat keterangan tambahan berupa baik dan buruknya pilihan tersebut. Hal itu seperti memberi (tambahan) pilihan dalam beberapa pilihan yang tersedia. Semakin bingung lah dia. Bingung yang muncul karena kebingungan dirinya sendiri.
Malam demi malam Mae lewati dengan penuh dilema. Mae harus segera memutuskan pilihan mana yang harus dia ambil. Apakah dia harus meninggalkan bimbingan belajarnya dan fokus kuliah, ataukah dia akan tetap bertahan menjadi guru sukarela di bimbingan belajarnya dan menerima segala konsekuensinya? Pilihan yang tiba-tiba muncul ketika dirinya merasa sangat lelah ini bukan semata-mata pilihan yang datang dari dirinya sendiri. Tuhan datangkan pilihan ini untuknya agar dia berpikir dan berdoa. Tak jarang Mae menghabiskan malamnya untuk berdoa. Pilihan yang datangnya dari Tuhan harus digantungkan kepada doa. Setelah Mae memikirkan keraguannya tersebut, akhirnya Mae yakin kalau dia harus melanjutkan bimbingan belajar yang telah dibangunnya selama ini.
Kesibukannya tidak hanya dirumah, di kampus Mae diberi amanah sebagai bendahara. Mae menjadi bendahara sekaligus di dua organisasi mahasiswa. Tak jarang karena saking sibuknya mengurusi pemasukan dan pengeluaran organisasi yang begitu besar, dia keliru dalam urusan hitung menghitung, dan pada akhirnya dia harus mengganti kekurangan uang organisasinya tersebut dengan uang miliknya sendiri. Kadang Mae kurang teliti dalam melakukan sesuatu. Begitulah Mae. Yaa lebih tepatnya dia bukan wanita yang cukup teliti soal urusan uang dan hitung menghitung. Dia hanya memiliki tekat untuk membantu sesama semaksimal yang dia bisa. Terkadang dia melupakan dirinya sendiri hanya untuk mengurusi orang lain. Namun dia tetap semangat menjalani semua itu sendirian.
Sampai dengan akhirnya Mae lulus kuliah dan bekerja menjadi guru di salah satu sekolah dasar swasta, dia masih mengajar sukarela di bimbingan belajarnya. Setelah lulus kuliah Mae terlepas dari tugasnya sebagai pengurus organisasi kampus, tetapi Mae harus tetap disibukan kembali dengan tugas barunya menjadi asisten dosen di kampusnya. Walaupun hanya menjadi asisten dosen, Mae tetap dipusingkan dengan berbagai hitungan dan statistik penelitian. Lagi-lagi Mae harus kembali menghadapi hitung-menghitung.
Mae tetap menikmati semua pekerjaannya. Dia tidak membiarkan apa yang dia cari mengambil alih hembus nafasnya.  Dia tetap bisa berbahagia dengan caranya sendiri. Dia bahagia dengan apa yang telah dipilihnya dan bagaimanapun dia harus tetap bahagia. Setiap orang berhak untuk berbahagia, setiap orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.
Mungkin kalian juga pernah merasa jika lelah yang kalian alami sudah berada dipuncaknya, atau bahkan dengan cerita yang lebih dramatis dari apa yang Mae alami. Setiap orang dalam hidupnya seperti memiliki siklus yang sama dengan cerita yang berbeda. Begitulah Mae menghadapi lelahnya. Bagaimana denganmu?

Mae dan Bandung
Hingga pada akhirnya dia lolos seleksi program beasiswa magister, dia harus resign dari semua pekerjaan yang membelenggunya. Dia mulai resign menjadi guru di sekolah dasar, berhenti menjadi asisten dosen, dan yang paling berat adalah meninggalkan bimbingan belajarnya. Mae (mau tidak mau) harus meninggalkan Bandung karena dia harus mengikuti salah satu program pelatihan bahasa di Yogyakarta yang diberikan oleh lembaga beasiswanya. Tidak ada yang salah dari Yogyakarta, bahkan Mae lulus seleksi ujian masuk pascasarjana disana. Bukan dengan hati yang berat bahwa dia harus menjalani hari-harinya di Yogyakarta selama kurang lebih dua tahun kedepan. Walaupun bagi Mae Bandung lebih dari sekedar cerita. Di Bandung kebahagiaan, luka, tawa, dan air mata terurai menjadi warna-warni kehidupan Mae.
Bandung, disana, disela-sela kesibukannya, Mae selalu meluangkan waktu untuk Me Time. Tak jarang dia pergi ke perpustakaan sendirian hanya untuk merasa sendiri. Terkadang dia merasa hidupnya terlalu crowded, sehingga sesekali dia memerlukan waktu untuk sendiri. Jika bosan ke perpustakaan terkadang dia pergi ke masjid, atau ke taman di belakang gedung rektorat kampus. Namun tempat yang paling sering dikunjungi Mae adalah perpustakaan. Padahal Mae tidak gemar membaca, dia hanya senang membolak balik buku yang isinya penuh dengan gambar-gambar yang menarik.
Karena sering pergi sendirian, semakin lama Mae semakin terbiasa sendiri, berbeda dengan teman-temannya di Bandung. Kebanyakan teman-teman perempuan Mae tidak bisa pergi jalan-jalan sendirian. Kebanyakan dari mereka meminta Mae untuk menemani mereka.  Sedangkan Mae sendiri tidak pernah mengajak teman jika hanya ingin sekedar jalan-jalan atau membeli sesuatu. Mae selalu lakukan itu sendiri. Salah satu fakta unik dari Mae adalah dia memiliki kesulitan untuk menolak ajakan teman, dia tipe perempuan yang “yes girl”. Jarang sekali dia menentukan sesuatu untuk sesuatu yang lain, dia lebih sering menerima tugas daripada memberi tugas. Dia tidak mendominasi tapi tidak juga didominasi. Mae bisa sangat dengan mudah menerima ajakan, saran, kritik, dan  komentar yang disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahaminya.

Masih Bandung, dan cinta
Terlebih tentang cinta, Bandung menyimpan banyak kenangan dan memori tentang luka. Kenapa kebahagiaan sangat mudah tertutupi oleh luka? Kenapa seseorang lebih mudah mengingat tentang luka-lukanya ketimbang bahagianya? Memang lebih mudah mengingat keburukan seseorang ketimbang mengingat kebaikannya.
Di Bandung, beberapa cinta datang dan pergi, silih berganti menyapa kehidupan Mae. Awalnya memberi kebahagiaan, harapan, dan penuh janji. Namun pada akhirnya itu semua hanya omong kosong. Harapan hanya tinggal harapan, janji hanya sebatas ucapan, yang tersisa hanya luka hati yang belum tentu bisa dengan mudah dilupakan. Dulu Mae bisa saja menghindar dari pahitnya cinta, namun dia pilih begitu. Sudah menjadi konsekuensinya.
Mae bukan wanita yang sulit jatuh cinta, tapi dia juga bukan wanita yang mudah melupakan. Dibeberapa kesempatan Mae memang kesulitan untuk move on, kesulitan untuk melupakan itulah yang membuat dia menganggap bahwa semua cinta yang telah dijalaninya selama ini hanya mematahkan, melukai, dan berakhir begitu saja. Dia juga bukan wanita yang mudah meninggalkan. Mae wanita yang selalu ingin berkomitmen, bisa dikatakan bahwa Mae masuk dalam kriteria wanita setia atau apapun itu namanya, begitulah Mae. Mae yakin bahwa dia akan selalu menemukan kembali cintanya. Cepat atau lambat dia akan menemukannya.

Sampai Jumpa Bandung dan Selamat Datang Yogyakarta !
April, lembaran baru bagi Mae, karena kini dia tidak lagi di Bandung, melainkan di Yogyakarta. Disana Mae menemukan banyak teman, cerita, dan cinta yang benar-benar baru. Masih teringat olehnya ketika dia menemukan kembali perasaan itu. Ya, disana dia menemukan cinta. Sebut saja cinta. Atau apalah ini namanya. Anggap saja seperti itu.
Selamat Mae! Mae kembali menyukai seseorang, untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama Mae larut dalam perasaan luka. Akhirnya Mae kembali menyukai seseorang. Siapakah laki-laki yang membuat Mae kembali jatuh cinta? Ia adalah sosok laki-laki yang tenang, tidak terlalu banyak berucap, namun selalu menepati janji-janjinya. Tuan Crab bilang sih “laki-laki sejati tidak pernah ingkari janji.” Siapakah laki-laki itu? Yaa.. Sebut saja namanya Nana.
Disaat perasaan Mae meletup-letup riang, Mae berusaha dekat dengan Nana. Sayangnya Nana bukan laki-laki yang mudah didekati. Tidak banyak yang Mae tau tentang Nana. Pernah suatu saat dia mengirim pesan kepada Nana hanya untuk menanyakan letak apotik disekitaran kampus.  Pernah Mae mencuri-curi tempat duduk agar bisa dekat dengan Nana. Pokoknya Mae berusaha dekat walaupun hanya sekedar bertanya hal-hal yang kurang penting. Namun sayangnya, langkah Mae untuk mendekati Nana terhenti. Ada hal yang membuat Mae tidak lagi bisa mendekati Nana. Mae menyerah, Mae tidak bisa lagi. Padahal jauh didalam hatinya, Mae ingin selalu dekat, tapi mungkin tidak untuk saat itu. Apa yang membuat Mae tidak lagi mendekati Nana saat itu? Biarkan hanya Mae, Tuhan, dan Nana yang mengetahuinya.

Pilihan untuk Mae.
Beberapa saat setelah Mae memutuskan diri untuk tidak lagi mendekati Nana, ada salah seorang teman Mae di pelatihan bahasa yang sempat membuat Mae terpana dengan kata-kata manisnya, namanya Mister. Ah perempuan! Pada dasarnya perempuan memang suka dibisikan kata-kata manis. Mister pernah membaca semua tulisan di blog Mae, dan memberi Mae seuntai kata-kata indah bak mutiara. Rupanya Mae mudah menyukai seseorang, namun Mae tetap tidak bisa melupakan Nana.
Disaat yang bersamaan dengan datangnya Mister dalam kehidupan Mae,  datang lagi seorang laki-laki bernama Bambang yang dikenalkan oleh temannya Mae di Yogyakarta. Teman Mae yang berasal dari Bandung pun menjodohkan Mae dengan seorang laki-laki Jawa bernama Joko. Teman-teman Mae begitu peduli dengan percintaan yang Mae jalani. Sangat Peduli !
Mae benar-benar dibuat dilema dengan sekaligus datangnya beberapa lelaki dalam kehidupan Mae. Tidak pernah sebelumnya Mae didekati oleh tiga laki-laki sekaligus. Mae seperti berada dititik terendah perjalanan cintanya. Kini biarkan Mae memilih salah satu dari mereka  secara rasional dilihat dari profilnya.
Mister, laki-laki  tampan yang cukup rupawan. Perempuan mana yang tidak menganggapnya tampan, selain tampan, kepandaiannya dalam merangkai kata-kata membuat Mae kagum dan membuatnya menyukai Mister. Pemikiran Mister yang cerdas membuat orang-orang senang berdiskusi secara serius dengannya. Tidak adalagi yang bisa mendeskripsikan sosok Mister, namun satu hal yang Mae ingat bahwa dirinya pernah dikecewakan oleh Mister.
Bambang, pria yang humoris, cukup dewasa, dan secara fisik dia sangat menggemaskan! Bagaimana tidak? Bambang memiliki perut yang buncit, dan sudah sejak lama Mae menginginkan laki-laki berperut buncit menggemaskan. Satu hal yang mengecewakan dari Bambang adalah dia tidak bisa melupakan masa lalunya.
Joko, sosok laki-laki serius yang sangat cerewet, tubuhnya yang tinggi dan kurus benar-benar membuat dia terlihat seperti sosok bapak presiden kita saat ini. Joko selalu memberikan hal-hal yang Mae anggap “mahal” untuk dirinya. Dokter hewan ini bahkan berencana memberikan Mae kucing Himalaya yang harganya jutaan, namun tentu saja Mae menolaknya. Sikap sombong Joko lah yang membuat Mae tidak lagi ingin mengenalnya. Bahkan ketika Joko berusaha menghubungi dirinya, Mae benar-benar menghindar.
Sayangnya, Mae menjadi begitu irasional, dia tidak banyak mempedulikan kebaikan atau profil yang cemerlang dari ketiganya. Mae benar-benar berada diposisi yang (mau tidak mau) dia menjadi jahat dan salah. Mae pernah mengenali ketiganya, tidak ada yang salah dari ketiganya. Mae yang salah, sudah terpaksa mau mengenali ketiganya. Seolah-olah Mae memberikan harapan semu kepada mereka, tapi bukan begitu.
Mereka hanya tidak mampu membaca Mae. Mereka tidak mengetahui Mae yang sebenarnya, namun kini satu persatu mulai menjauh karena sikap Mae yang tidak lagi ramah kepada mereka. Terkadang sikap “seperlunya” itu diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjalin pertemanan dengan laki-laki.
Bagaimana bisa Tuhan memberikan begitu banyak pilihan padahal Mae sudah memilih satu dalam hatinya? Apakah niat Tuhan hanya ingin membuat Mae tergoda untuk memilih yang lain?
Ketiga laki-laki itu tidak seperti Nana. Sangat jauh berbeda dari Nana yang tidak bisa terdeskripsikan. Ini semua bukan tentang pilihan yang diberikan Tuhan. Bukan tentang Mae harus memilih yang mana. Ini tentang potongan puzzle yang telah lama hilang lalu tergantikan dengan potongan puzzle yang baru. Cinta bukan soal pilihan, cinta hanya soal keyakinan. Keyakinan dalam mencintai bukan keyakinan yang “cukup yakin” atau “setengah yakin”. Harus menjadi benar-benar sepenuhnya yakin. Jika Mae sudah yakin dengan apa yang dia anggap cinta, kenapa dia harus memilih yang lain. Mae menyukai ketiga pilihan yang diberikan oleh Tuhan untuknya, tapi tidak untuk mencintainya, tidak juga untuk dipilih olehnya. Tuhan telah memberikan banyak pilihan, tapi Tuhan menetapkan satu. Satu itu adalah ketetapan bukan pilihan.

Damainya bulan-bulan setelah Mei.
Pelatihan bahasa berupa toefl preparation tidak cukup sukses bagi Mae. Dia memiliki skor akhir yang bisa dikatakan rendah, secara tidak langsung Mae bisa dikatakan gagal dalam ujian toeflnya. Sebuah kekecewaan besar bagi Mae. Dia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal mengatasi perasaannya yang “tidak menyukai bahasa Inggris”. Dia gagal mengatasi rasa cemasnya ketika ujian. Dia gagal mengatasi rasa malasnya untuk belajar toefl. Itulah kesalahan terbesarnya! Malas!
Saat itu dia memang gagal dalam banyak hal! Sebelumnya pernah beberapa kali Mae gagal dalam hal tertentu, namun dia tidak pernah larut dalam kekecewaan pada sebuah kegagalan. Dia segera menyadari hal-hal apa yang salah pada dirinya sehingga membuatnya gagal. Dia tidak membiarkan waktu yang dia miliki habis oleh kesedihan. Dia selalu ingin dirinya bahagia.
Sore hari di pemakaman nenek dan kakeknya, Mae berdoa dengan tenangnya. Berdoa untuk kakek dan neneknya yang telah lama meninggalkannya. Berdoa untuk dirinya sendiri. Berdoa untuk harapan-harapan yang dia gantungkan kepada Tuhan.
Sore itu, dia memang masih tenggelam dalam kekecewaan karena dia gagal mencapai target skor toeflnya, masih sulit untuknya tersenyum sekedar memberi tanda ramah kepada orang sekitarnya. Mae benar-benar berlebihan menyikapi kegagalannya. Namun tak lama Mae sadar, dia segera bangkit dari duduknya, melihat sekitar pemakaman yang suasananya damai.  Sinar matahari sore dan semilir angin yang menyingkap tubuhnya menyadarkannya bahwa tidak mungkin dia membiarkan dirinya tidak bahagia sedangkan hidup hanya sesingkat matahari terbit dan tenggelam.
Dia menyadari suatu saat dia akan bernasib sama dengan apa yang dilihatnya saat itu. Suatu saat dia akan meninggal, tidaklah mungkin dia membiarkan dirinya menangis. Sore itu dia berhasil mendamaikan hati dan pikirannya.
Mae memiliki keyakinan bahwa Tuhan memberikan jatah “gagal” yang sama kepada setiap makhluknya. Setiap orang juga memiliki jatah “sukses” yang sama. Hanya saja kita tidak akan pernah tau kapan kita akan sukses dan kita akan gagal. Kita juga tidak akan pernah tau dalam hal apa kita akan sukses dan kita akan gagal. Mae hanya tidak ingin dia gagal disaat dia telah beranjak “tua”. Mae ingin menghabiskan jatah gagalnya saat ini juga, saat dia masih muda. Keyakinannyalah yang membuat hati dan pikiran Mae damai.
Mungkin secuil kisah tentang kegagalan Mae bisa dijadikan pelajaran untuk kita agar lebih menghargai waktu yang Tuhan berikan.

Mae
Terlepas dari semua itu, kini Mae cukup senang bisa dekat dengan pilihan hatinya. Bukan bagian dari pilihan yang diberikan Tuhan. Melainkan memang didatangkan Tuhan untuk menjadi satu-satunya potongan puzzle di hatinya Mae. Walaupun Mae tidak tau bagaimana perasaan Nana kepadanya, Mae tidak begitu mempedulikan apakah Nana mencintainya juga. Cinta tidak melulu soal pembalasan. Cinta akan tetap menjadi cinta dengan keyakinanya, Mae tetap merasa senang walau kedekatannya dengan Nana hanya sebatas teman. Tetaplah dekat. Tetaplah peduli satu sama lain. Hingga waktu berpihak kepada kalian untuk bersama.

Saya
Saya adalah penulis cerpen ini. Penulis cerpen ini adalah tuhan bagi tulisannya sendiri. Saya adalah tuhan cerpen ini. Baik, benar, buruk, salah, dan segala khilaf hanya bisa dimaafkan oleh diri sendiri.