Pendidikan Pascasarjana yang SMART
dalam Menghadapi MEA
Di
era modern seperti saat ini masyarakat dihadapkan oleh berbagai tuntutan zaman,
salah satunya adalah globalisasi. Masyarakat sudah harus siap dengan
globalisasi terutama dalam bidang ekonomi. Berpijak pada hal tersebut maka suatu
negara tidak bisa terlibat dalam ekonomi global tanpa adanya masyarakat global.
Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang mulai memahami akan hal tersebut,
oleh karena itu dibentuklah suatu komunitas masyarakat global di kawasan Asia
Tenggara agar bisa turut serta berperan dalam perekonomian global. Komunitas
masyarakat global tersebut adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan
salah satu program dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Pada pelaksanaannya MEA
merupakan bentuk
realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Sepuluh
negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam,
Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Myanmar, dan Filipina akan menjadi kesatuan
pasar dan basis produksi sekaligus menjadi suatu komunitas besar yang mendorong
kemajuan antar negara anggota. MEA mampu menghilangkan batas perekonomian antar
negara anggota ASEAN baik itu dalam hal barang dan jasa, bursa saham, pasar
modal, investasi, ekspor-impor, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya. Melalui
MEA besar harapan masyarakat agar ASEAN menjadi kawasan makmur, stabil, berdaya saing tinggi, adil dalam
pelaksanaan perekonomian global, dan dapat mengurangi kesenjangan sosial
ekonomi.
Bagi masyarakat Indonesia MEA dapat menjadi
peluang sekaligus tantangan. Masyarakat
bisa turut serta berkompetisi dalam kegiatan ekonomi berskala global dengan
mudah, tanpa adanya hambatan birokrasi antar negara yang terlalu ketat,
sehingga menstimulus pertumbuhan ekonomi nasional. Disisi lain masyarakat harus
siap bersaing dengan jutaan pekerjaan asing yang memiliki kualifikasi tinggi.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja
di Indonesia karena banyak juga masyarakat Indonesia yang menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) diluar negeri. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS)
sampai dengan tahun 2015 terdapat 705.608 warga Indonesia yang menjadi TKI
diluar negeri (BPS, 2016, Hlm. 109). Kekhawatiran seharusnya muncul ketika
masyarakat Indonesia belum siap berkompetisi dengan tenaga asing karena minim
keterampilan dan pendidikan yang rendah. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama
antara pemerintah dengan berbagai lembaga pendidikan agar tercipta sumber daya
manusia (SDM) yang unggul dan mumpuni sehingga siap untuk berkompetisi dalam
MEA. Disisi lain pemerintah juga harus memaksimalkan SDM Indonesia yang sudah
profesional agar tidak berpaling ke negara lain.
Masalah
lain yang harus dihadapi Indonesia adalah pengangguran. Hasil survei angkatan
kerja nasional (sakernas) menyatakan bahwa sampai dengan tahun 2015 terdapat
7.560.822 orang yang pengangguran dari 122.380.021 orang yang dinyatakan
angkatan kerja (BPS, 2016, Hlm. 90). Hal tersebut seharusnya mendorong
Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja, membuka akses pasar dunia secara
profesional, dan pemberdayaan sumber daya manusia yang unggul.
Pengembangan
sumber daya manusia dilakukan dengan jalan pendidikan dan pelatihan. Semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar peluang untuk mendapatkan
pekerjaan yang mapan, walaupun demikian jumlah sumber daya manusia yang
berpendidikan tinggi masih bisa dikatakan sedikit, padahal seiring dengan
berjalannya waktu kebutuhan akan sumber daya manusia yang profesional dan
berpendidikan akan semakin tinggi. Menurut survei yang dilakukan oleh BPS tahun
2015 terdapat 10.210.481 orang yang berpendidikan diatas jenjang diploma tiga
(D-III) dan 9.556.895 diantaranya aktif bekerja (BPS, 2016, Hlm. 94). Data
tersebut menunjukan bahwa 92,60% orang yang pendidikan tinggi telah mendapatkan
pekerjaan.
Disaat
persaingan global muncul maka Indonesia harus mampu menyamakan kualifikasi dengan negara lain dalam berbagai bidang
khususnya pendidikan. Kini negara lain mulai meningkatkan standar kualitas
pendidikannya karena tuntutan zaman yang semakin tinggi. Besar kemungkinan di
masa yang akan datang standar minimal pendidikan bagi tenaga kerja adalah
sarjana dan juga tidak menutup kemungkinan untuk menjadi seorang pekerja white collar minimal pendidikannya harus
pascasarjana (S2 atau S3).
Salah
satu pendidikan tinggi yang tidak kalah pentingnya dalam pemberdayaan sumber
daya manusia adalah pendidikan pascasarjana. Terdapat banyak lembaga pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan pascasarjana. Survei tahun 2015 dari
kemenristek dan kementerian agama terdapat 176 PTN dan 3.742 PTS yang tersebar
di Indonesia. (BPS, 2016, hlm. 149). Walaupun tidak semua perguruan tinggi yang
ada di Indonesia menyelenggaran pendidikan pascasarjana, setidaknya angka
tersebut menjelaskan kepada kita bahwa terdapat banyak sekali lembaga
pendidikan yang bertanggung jawab menghasilkan sumber daya manusia yang unggul
dan profesional.
Memberdayakan
manusia bukanlah perihal yang mudah namun tidak sulit untuk dilakukan.
Pengembangan sumber daya manusia memerlukan perencanaan yang matang, sasaran,
serta pengawasan secara berkelanjutan. Menurut Stewart (1994, hlm. 140) terdapat lima hal dasar
dalam pemberdayaan sumber daya manusia khususnya pemberdayaan melalui
pendidikan tinggi, diantaranya adalah Specific, Measurable, Achievable,
Relevant, dan Time (SMART). Lima hal ini menjadi dasar dalam memberdayakan
manusia yang berkaitan dengan peran strategis pendidikan khususnya pendidikan
pascasarjana dalam menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.
Specific
(spesifik)
Berkompetisi
di era MEA semua langkah dan rencana harus dibuat secara jelas dan spesifik.
Bila sampai salah langkah maka Indonesia akan dengan cepat tersaingi dengan negara
lain. Sesuatu yang spesifik dapat mempermudah langkah kita dalam pergaulan di
kancah MEA. Langkah-langkah yang jelas dan spesifik inilah yang menjadi dasar
dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pendidikan pascasarjana memiliki
peran yang cukup spesifik dalam membangun bangsa. Kebanyakan SDM yang lulus
adalah ia yang mampu melakukan pemecahan masalah dengan tepat, melakukan
indentifikasi masalah dengan cepat, dan mampu berpikir lebih baik di bidangnya
masing-masing. Pendidikan pascasarjana memiliki spesifikasi dalam berbagai
bidang ilmu yang nantinya akan menciptakan spesialisasi pekerjaan yang berbeda
satu sama lain. Menurut Conway (2011, hlm. 26) dalam hal
perekonomian jauh lebih baik dengan membagi pekerjaan dan berspesialisasi dalam
hal yang dapat kita kerjakan paling baik. Spesialisasi dalam pekerjaan
diperlukan dalam menghadapi ekonomi modern abad ke-21. Secara tidak langsung
pendidikan pascasarjana merupakan salah cara dalam pemberdayaan manusia yang
terspesialisasi dan memiliki tujuan yang spesifik.
Measurable (dapat diukur)
Bagaimanapun kita tidak bisa memungkiri bahwa di era MEA
segala sesuatu diukur dengan angka dan angka adalah salah satu ukuran yang
dijadikan pembanding antar negara. Measurable atau sesuatu yang dapat
diukur, dapat membantu kita dalam menentukan kesuksesan yang telah dicapai
dengan jelas, sekaligus menjadi pembanding ketercapaian dengan negara lain.
Pendidikan pascasarjana diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan
tindakan konkrit. Mampu menangani suatu masalah tidak hanya sekedar memberi
jawaban iya atau tidak, tetapi mampu berkontribusi lebih dalam upaya
menyelesaikan masalah dan memperbaiki keadaan. Misalnya saja melalui berbagai
penelitian kelangkaan bahan bakar minyak dapat diatasi dengan ditemukannya sumber
energi baru, yang berdampak pada peningkatan angka indeks kesejahteraan rakyat.
Pendidikan pascasarjana memberikan hasil penelitian yang jelas dan terukur
dalam pengembangan berbagai bidang di Indonesia.
Achievable (dapat dicapai)
Guna menghadapi MEA
kita tidak harus terburu-buru mengambil target yang terlalu tinggi, lebih baik
kita mengambil tindakan selangkah demi selangkah dengan pasti. Dimulai dari
langkah kecil oleh masing-masing individu sampai dengan langkah besar dengan
skala global, dengan demikian masyarakat Indonesia dapat melangkah pasti
mencapai tujuan demi tujuan. Bicara soal
ketercapaian dalam dunia pendidikan, Indonesia harus belajar dari masa lalu. Beberapa
tahun yang lalu Karla C. Shippely menyebutkan hasil penelitiannya bahwa
negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang pernah mengalami kemunduran ekonomi
menjadi contoh negara yang kurang seimbang dalam strategi pendidikan, hal
tersebut disebabkan oleh keinginan yang melebihi kemampuan (2002, hlm. 117).
Seiring dengan berjalan waktu pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan
pascasarjana mulai didesain dengan pembelajaran yang kompetitif dan memenuhi
validitas (dibuat tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah) sehingga dapat
dicapai oleh setiap individu.
Relevant (sesuai dengan kebutuhan)
Di era MEA relevansi selalu diperhitungkan, pengembangan SDM
tentunya harus relevan dengan kebutuhan zaman. Pendidikan pascasarjana
membentuk SDM menjadi pribadi yang fleksibel yang mampu beradaptasi dengan
perubahan. Pribadi yang mampu mengikuti alur zaman tanpa harus terbawa arus dan
juga bisa memahami kebutuhan masyarakat sesuai dengan zamannya karena sesuatu
yang tidak dibuat sesuai kebutuhan akan menjadi hal yang sia-sia.
Kehadiran pendidikan pascasarjana kiranya sesuai dengan
kebutuhan zaman yang semakin lama semakin menuntut kita untuk berpendidikan
tinggi. Seseorang yang berpendidikan diharapkan memiliki karakteristik yang
relevan dan sejalan dengan cita-cita bangsa yaitu memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkontribusi dalam kedamaian dunia.
Timed (Waktu)
Waktu adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan. Jika kita tidak dapat mengejar waktu maka kita akan tertinggal dalam
segala hal. Di era MEA semua berpacu pada waktu. Siapa yang diam dan tidak
bergerak maka dia akan tertinggal jauh di belakang. Bagi yang tidak ingin
tergerus oleh waktu maka ia harus terus bergerak cepat. Masyarakat Indonesia
yang tertinggal harus segera bangkit mengejar ketertinggalannya.
Pendidikan pascasarjana berperan aktif dalam membentuk SDM
yang cekatan dan tanggap terhadap perubahan. Selain dari pada itu lulusan
pascasarjana harus menjadi pribadi yang open-minded dan mampu menyelesaikan
target lebih cepat atau tepat pada waktunya, karena jika tidak tepat pada
waktunya akan menghasilkan suatu ketertinggalan dalam berbagai hal yang
nantinya akan menimbulkan masalah baru dan tentunya dapat merugikan diri
sendiri.
Peran pendidikan pascasarjana dapat dilihat dari lima
langkah SMART dalam pemberdayaan manusia
melalui pendidikan tinggi. Hal tersebut tentunya dapat mendorong masyarakat
untuk berkembang, bangkit, dan mengejar ketertinggalan, sehingga dapat terwujud
masyarakat global yang siap bersaing di era MEA. Penulis berharap pendidikan
pascasarjana dapat menjadi salah satu jenis pendidikan yang memilki kontribusi
besar dalam pergaulan MEA, sehingga mendorong Indonesia menjadi negara yang
maju.
Referensi
:
Badan
Pusat Statistik. (2016) -----
Conway, Edmund. (2011) -----
Karla C.
Shippely, J.D. (2002) -----
Stewart,
Aileen Mitchell. (1994) ------