Konservatif vs Kreatif dalam Proses Regenerasi Nilai
Tanggapan Artikel : Pencarian Nilai Ketimuran dan
Kebaratan Sudah Lewat, tapi Nilai Baru Belum Ada
Oleh : Eli Meivawati (16701251017)
Saya cukup dilema dihadapkan pada dua hal berbeda
terkait dengan nilai-nilai kehidupan yang dibahas dalam artikel tersebut. Mari
kita lihat dalam dua perspekif yaitu dari sudut pandang orang yang konservatif
dan dari sudut pandang orang yang kreatif. Orang yang konservatif akan
mempertahankan berbagai nilai-nilai kehidupan yang sudah berinternalisasi dalam
dirinya, sehingga dalam pemikirannya perlu adanya “estafet tongkat” kepada
generasi berikutnya. Dalam perspektif ini, nilai baru tidak diacuhkan tetapi
nilai ketimuran dan nilai kebaratan akan tetap dipertahankan bagi masing-masing
penganutnya.
Orang yang kreatif memandang suatu keadaan sebagai
kesempatan untuk melakukan suatu pembaharuan, sehingga tidak ada lagi estafet
tongkat melainkan tiap-tiap generasi memiliki tongkatnya sendiri. Dalam
perspektif ini, nilai ketimuran dan nilai kebaratan hanya berlaku pada masanya,
setiap masa dan setiap perubahan memiliki nilai lain yang berbeda. Sehingga
pencarian nilai tidak akan pernah berakhir karena zaman akan terus berkembang.
Perubahan akan selalu terjadi, ada beberapa nilai
yang harus ditinggalkan dan ada juga yang harus dipertahankan. Nilai-nilai yang
konvensional dan tidak relevan sudah semestinya ditinggalkan, kita memerlukan
nilai yang mampu menampung aspirasi dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Nilai baru bukan berarti belum ditemukan.
Nilai baru akan selalu muncul dan berkembang mengimbangi derasnya perkembangan
IPTEK.
Prof. Dr. Niels Mulder mengkritisi soal pencarian
nilai ketimuran dan kebaratan, yang ternyata ada jurang pemisah antara
kenyataan dan ketidakcocokan nilai-nilai yang hendak dihidupkan, sehingga
menimbulkan kekosongan moril masyarakat ketika nilai baru yang diinginkan
secara luas belum ada. Menanggapi hal tersebut kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang telah tumbuh dalam suatu
peradaban untuk diterapkan pada peradaban lain jadi benar adanya apa yang
dikatakan oleh Mangunwijaya bahwa suatu bangsa hanya memerlukan nilai yang
relevan. Jika suatu bangsa mengalami kekosongan moril maka kita perlu tilik
kembali ujung tombak dari proses penyampaian nilai-nilai tersebut. Lihat
kembali apakah nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga dan nilai-nilai yang
diajarkan oleh guru (dalam lembaga pendidikan) sudah relevan dengan kehidupan.
Mau tidak mau kita terbentur dalam suatu birokrasi dan kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan.
Idealnya memang kita harus selalu melihat dinamika
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat untuk diidentifikasi nilai-nilai
relevan apa saja yang dapat diterapkan (atau diajarkan) seperti yang
diungkapkan Prof. Dr. Niels Mulder bahwa pengalaman hidup harus menjadi
panglima dan budi pekerti mengikuti. Di
zaman sekarang, pengalaman tidak lagi memandu budi pekerti (atau nilai). Kini
kita harus bisa menyeimbangkan antara pengalaman dengan budi pekerti,
mengingat betapa ironinya bangsa ini yang semakin hari semakin tidak
mengindahkan tata krama dan budi pekerti. Lain halnya jika kita melihat
pengalaman sebagai sesuatu yang dapat menyentuh langsung kenyataan tanpa
didahului dengan halangan berupa konsep-konsep abstrak. Akan tetapi, menurut
hemat saya, nilai-nilai kehidupan (atau budi pekerti) dengan pengalaman harus
berjalan beriringan, karena akan sangat sulit untuk terbang jika hanya dengan
satu sayap.
Pada hakikatnya nilai-nilai ilmiah memiliki peranan
terhadap pengembangan kebudayaan nasional, Jujun S. Suriasumantri (2003:275)
mengidentifikasi setidaknya ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat
keilmuan yakni kritis, rasional, logis,
objektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Tujuh
nilai tersebut merupakan dasar dari cara pemecahan masalah yang dihadapi oleh
bangsa modern seperti Indonesia.
Kita hidup di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi
perkembang dengan pesat. Kita bukan lagi harus memilih, melainkan harus segera
menentukan sikap dan mengaplikasikannya. Sudah bukan waktunya untuk memilih
nilai ketimuran atau nilai kebaratan. Saya setuju dengan pernyataan Y.B.
Mangunwijaya yang berpandangan bahwa “...kita sering berapriori maka sebagai
bangsa harus ada identitas” dimana kita hidup tidak bisa dalam bayang-bayang
antara hitam dan putih, tidak bisa hanya berkiblat pada nilai ketimuran dan
nilai kebaratan. Sebagai bangsa yang
besar kita memiliki nilai-nilai kehidupan yang hidup, tumbuh, dan berkembang
yaitu nilai-nilai kehidupan yang berasal dari Pancasila.
No comments:
Post a Comment