Pages

Popular Posts

Thursday, December 29, 2016

Pencarian Nilai Ketimuran dan Kebaratan Sudah Lewat, tapi Nilai Baru Belum Ada

Konservatif vs Kreatif dalam Proses Regenerasi Nilai
Tanggapan Artikel : Pencarian Nilai Ketimuran dan Kebaratan Sudah Lewat, tapi Nilai Baru Belum Ada
Oleh : Eli Meivawati (16701251017)
Saya cukup dilema dihadapkan pada dua hal berbeda terkait dengan nilai-nilai kehidupan yang dibahas dalam artikel tersebut. Mari kita lihat dalam dua perspekif yaitu dari sudut pandang orang yang konservatif dan dari sudut pandang orang yang kreatif. Orang yang konservatif akan mempertahankan berbagai nilai-nilai kehidupan yang sudah berinternalisasi dalam dirinya, sehingga dalam pemikirannya perlu adanya “estafet tongkat” kepada generasi berikutnya. Dalam perspektif ini, nilai baru tidak diacuhkan tetapi nilai ketimuran dan nilai kebaratan akan tetap dipertahankan bagi masing-masing penganutnya.
Orang yang kreatif memandang suatu keadaan sebagai kesempatan untuk melakukan suatu pembaharuan, sehingga tidak ada lagi estafet tongkat melainkan tiap-tiap generasi memiliki tongkatnya sendiri. Dalam perspektif ini, nilai ketimuran dan nilai kebaratan hanya berlaku pada masanya, setiap masa dan setiap perubahan memiliki nilai lain yang berbeda. Sehingga pencarian nilai tidak akan pernah berakhir karena zaman akan terus berkembang.
Perubahan akan selalu terjadi, ada beberapa nilai yang harus ditinggalkan dan ada juga yang harus dipertahankan. Nilai-nilai yang konvensional dan tidak relevan sudah semestinya ditinggalkan, kita memerlukan nilai yang mampu menampung aspirasi dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Nilai baru bukan berarti belum ditemukan. Nilai baru akan selalu muncul dan berkembang mengimbangi derasnya perkembangan IPTEK.
Prof. Dr. Niels Mulder mengkritisi soal pencarian nilai ketimuran dan kebaratan, yang ternyata ada jurang pemisah antara kenyataan dan ketidakcocokan nilai-nilai yang hendak dihidupkan, sehingga menimbulkan kekosongan moril masyarakat ketika nilai baru yang diinginkan secara luas belum ada. Menanggapi hal tersebut kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang telah tumbuh dalam suatu peradaban untuk diterapkan pada peradaban lain jadi benar adanya apa yang dikatakan oleh Mangunwijaya bahwa suatu bangsa hanya memerlukan nilai yang relevan. Jika suatu bangsa mengalami kekosongan moril maka kita perlu tilik kembali ujung tombak dari proses penyampaian nilai-nilai tersebut. Lihat kembali apakah nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga dan nilai-nilai yang diajarkan oleh guru (dalam lembaga pendidikan) sudah relevan dengan kehidupan. Mau tidak mau kita terbentur dalam suatu birokrasi dan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Idealnya memang kita harus selalu melihat dinamika kehidupan yang terjadi dalam masyarakat untuk diidentifikasi nilai-nilai relevan apa saja yang dapat diterapkan (atau diajarkan) seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Niels Mulder bahwa pengalaman hidup harus menjadi panglima dan budi pekerti mengikuti. Di zaman sekarang, pengalaman tidak lagi memandu budi pekerti (atau nilai). Kini kita harus bisa menyeimbangkan antara pengalaman dengan budi pekerti, mengingat betapa ironinya bangsa ini yang semakin hari semakin tidak mengindahkan tata krama dan budi pekerti. Lain halnya jika kita melihat pengalaman sebagai sesuatu yang dapat menyentuh langsung kenyataan tanpa didahului dengan halangan berupa konsep-konsep abstrak. Akan tetapi, menurut hemat saya, nilai-nilai kehidupan (atau budi pekerti) dengan pengalaman harus berjalan beriringan, karena akan sangat sulit untuk terbang jika hanya dengan satu sayap.
Pada hakikatnya nilai-nilai ilmiah memiliki peranan terhadap pengembangan kebudayaan nasional, Jujun S. Suriasumantri (2003:275) mengidentifikasi setidaknya ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni kritis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Tujuh nilai tersebut merupakan dasar dari cara pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa modern seperti Indonesia.
Kita hidup di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi perkembang dengan pesat. Kita bukan lagi harus memilih, melainkan harus segera menentukan sikap dan mengaplikasikannya. Sudah bukan waktunya untuk memilih nilai ketimuran atau nilai kebaratan. Saya setuju dengan pernyataan Y.B. Mangunwijaya yang berpandangan bahwa “...kita sering berapriori maka sebagai bangsa harus ada identitas” dimana kita hidup tidak bisa dalam bayang-bayang antara hitam dan putih, tidak bisa hanya berkiblat pada nilai ketimuran dan nilai kebaratan. Sebagai bangsa yang besar kita memiliki nilai-nilai kehidupan yang hidup, tumbuh, dan berkembang yaitu nilai-nilai kehidupan yang berasal dari Pancasila.



 

No comments:

Post a Comment