Pages

Popular Posts

Thursday, December 29, 2016

Pencarian Nilai Ketimuran dan Kebaratan Sudah Lewat, tapi Nilai Baru Belum Ada

Konservatif vs Kreatif dalam Proses Regenerasi Nilai
Tanggapan Artikel : Pencarian Nilai Ketimuran dan Kebaratan Sudah Lewat, tapi Nilai Baru Belum Ada
Oleh : Eli Meivawati (16701251017)
Saya cukup dilema dihadapkan pada dua hal berbeda terkait dengan nilai-nilai kehidupan yang dibahas dalam artikel tersebut. Mari kita lihat dalam dua perspekif yaitu dari sudut pandang orang yang konservatif dan dari sudut pandang orang yang kreatif. Orang yang konservatif akan mempertahankan berbagai nilai-nilai kehidupan yang sudah berinternalisasi dalam dirinya, sehingga dalam pemikirannya perlu adanya “estafet tongkat” kepada generasi berikutnya. Dalam perspektif ini, nilai baru tidak diacuhkan tetapi nilai ketimuran dan nilai kebaratan akan tetap dipertahankan bagi masing-masing penganutnya.
Orang yang kreatif memandang suatu keadaan sebagai kesempatan untuk melakukan suatu pembaharuan, sehingga tidak ada lagi estafet tongkat melainkan tiap-tiap generasi memiliki tongkatnya sendiri. Dalam perspektif ini, nilai ketimuran dan nilai kebaratan hanya berlaku pada masanya, setiap masa dan setiap perubahan memiliki nilai lain yang berbeda. Sehingga pencarian nilai tidak akan pernah berakhir karena zaman akan terus berkembang.
Perubahan akan selalu terjadi, ada beberapa nilai yang harus ditinggalkan dan ada juga yang harus dipertahankan. Nilai-nilai yang konvensional dan tidak relevan sudah semestinya ditinggalkan, kita memerlukan nilai yang mampu menampung aspirasi dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Nilai baru bukan berarti belum ditemukan. Nilai baru akan selalu muncul dan berkembang mengimbangi derasnya perkembangan IPTEK.
Prof. Dr. Niels Mulder mengkritisi soal pencarian nilai ketimuran dan kebaratan, yang ternyata ada jurang pemisah antara kenyataan dan ketidakcocokan nilai-nilai yang hendak dihidupkan, sehingga menimbulkan kekosongan moril masyarakat ketika nilai baru yang diinginkan secara luas belum ada. Menanggapi hal tersebut kita tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang telah tumbuh dalam suatu peradaban untuk diterapkan pada peradaban lain jadi benar adanya apa yang dikatakan oleh Mangunwijaya bahwa suatu bangsa hanya memerlukan nilai yang relevan. Jika suatu bangsa mengalami kekosongan moril maka kita perlu tilik kembali ujung tombak dari proses penyampaian nilai-nilai tersebut. Lihat kembali apakah nilai-nilai yang diajarkan dalam keluarga dan nilai-nilai yang diajarkan oleh guru (dalam lembaga pendidikan) sudah relevan dengan kehidupan. Mau tidak mau kita terbentur dalam suatu birokrasi dan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Idealnya memang kita harus selalu melihat dinamika kehidupan yang terjadi dalam masyarakat untuk diidentifikasi nilai-nilai relevan apa saja yang dapat diterapkan (atau diajarkan) seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Niels Mulder bahwa pengalaman hidup harus menjadi panglima dan budi pekerti mengikuti. Di zaman sekarang, pengalaman tidak lagi memandu budi pekerti (atau nilai). Kini kita harus bisa menyeimbangkan antara pengalaman dengan budi pekerti, mengingat betapa ironinya bangsa ini yang semakin hari semakin tidak mengindahkan tata krama dan budi pekerti. Lain halnya jika kita melihat pengalaman sebagai sesuatu yang dapat menyentuh langsung kenyataan tanpa didahului dengan halangan berupa konsep-konsep abstrak. Akan tetapi, menurut hemat saya, nilai-nilai kehidupan (atau budi pekerti) dengan pengalaman harus berjalan beriringan, karena akan sangat sulit untuk terbang jika hanya dengan satu sayap.
Pada hakikatnya nilai-nilai ilmiah memiliki peranan terhadap pengembangan kebudayaan nasional, Jujun S. Suriasumantri (2003:275) mengidentifikasi setidaknya ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni kritis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Tujuh nilai tersebut merupakan dasar dari cara pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa modern seperti Indonesia.
Kita hidup di zaman ilmu pengetahuan dan teknologi perkembang dengan pesat. Kita bukan lagi harus memilih, melainkan harus segera menentukan sikap dan mengaplikasikannya. Sudah bukan waktunya untuk memilih nilai ketimuran atau nilai kebaratan. Saya setuju dengan pernyataan Y.B. Mangunwijaya yang berpandangan bahwa “...kita sering berapriori maka sebagai bangsa harus ada identitas” dimana kita hidup tidak bisa dalam bayang-bayang antara hitam dan putih, tidak bisa hanya berkiblat pada nilai ketimuran dan nilai kebaratan. Sebagai bangsa yang besar kita memiliki nilai-nilai kehidupan yang hidup, tumbuh, dan berkembang yaitu nilai-nilai kehidupan yang berasal dari Pancasila.



 

Tuesday, December 13, 2016

Kronologi Lengkap Kasus Ahok

URGENSI ATASI MOBOCRACY DAN PEOPLE POWER DI INDONESIA: TANGGAPAN TERHADAP KASUS AHOK DAN AKSI BELA ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu : Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum. 

Oleh
Eli Meivawati              (16701251017)

PROGRAM STUDI S-2 PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA




Aksi Bela Islam merupakan serentetan aksi unjuk rasa yang mengerahkan massa sebagai bentuk reaksi atas pernyataan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu. Aksi Bela Islam itu sendiri terpusat di daerah ibu kota Jakarta. Kasus ini bermula pada 6 Oktober 2016 dari laporan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang melaporkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Tepatnya pada 27 September 2016, saat Ahok melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu beliau menyampaikan pidato yang dianggap menistakan agama Islam, pada saat itu beliau mengatakan “…Kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu enggak bisa pilih saya karena dibodohi pakai surat Al-Maidah 51, macem-macem gitu loh…” sedangkan para audience saat itu hanya menanggapinya dengan tertawa ringan. Pidato ini pun menjadi viral karena ada yang mengunggah videonya di akun sosial media. Video yang viral tersebut sukses menyulut api emosi umat muslim dan mengakibatkan terjadinya demo (dibaca: Aksi Bela Islam). Demo merupakan hak demokrasi warga, tentunya kita tidak ingin demo tersebut ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan menyimpang. Bukankah demo tersebut dilakukan semata-mata untuk menunjukan sikap terhadap pernyataan Ahok? Jika aksi tersebut ditujukan kepada pemerintahan terutama Jokowi, maka Ahok hanya akan menjadi buih saja. Andai kata aksi ini tujuannya menyimpang ke arah makar, maka tidak menutup kemungkinan kejadian terbukanya kotak pandora pada tahun 1998 akan terulang kembali. Sungguh hal yang akan menjadi aib dimata dunia ketika pemerintahan di Indonesia tidak lagi memiliki wibawa untuk memimpin rakyatnya sendiri.
Buni Yani yang mengunggah video Ahok di akun sosial media miliknya kini sudah dipidanakan karena dianggap telah mengedit video dengan menghilangkan kata “pakai” dalam pidato Ahok. Dicermati lebih jauh, penggunaan kata pakai dengan tanpa penggunaan kata pakai bisa saja memiliki makna yang berbeda, namun Buni Yani membantah bahwa dirinya telah mengedit video tersebut. Kita bisa analogikan kisah Buni Yani dalam sebuah suasana ujian akhir semester di kelas, ketika ujian dilaksanakan Buni Yani melihat Ahok tengah mencontek dan berbuat curang, namun saat Buni Yani lapor kepada gurunya, ia malah dimarahi dan diusir dari kelas. Kisah malang Buni Yani bisa dijadikan pembelajaran bagi kita. Kearifan, nalar, dan konsekuensi harus kita pikirkan matang-matang sebelum melaporkan suatu kejadian, apalagi jika kita membagikannya di akun sosial media.
Sebelum terjadinya Aksi Bela Islam I, pada tanggal 10 Oktober 2016 Ahok sudah meminta maaf atas pernyataannya tersebut, ia juga menyampaikan bahwa ia tidak bermaksud untuk menistakan agama. Sayangnya, permohonan maaf Ahok tidak diacuhkan dan pada 15 November 2016 Ahok ditetapkan menjadi tersangka. Ada yang aneh dalam proses hukum yang dijalani Ahok karena walaupun ia sudah ditetapkan sebagai tersangka tetapi ia tidak ditahan. Menurut Kepala Polri (dalam Tempo, 17 November 2016) Ahok tidak ditahan karena tim penyidik menilai Ahok bersikap kooperatif, namun Ahok juga dilarang untuk bepergian ke luar negeri sehingga paspornya ditahan.
Atas permintaan Jokowi gelar perkara kasus ini pun dilaksanakan secara terbuka dengan harapan  masyarakat bisa mengikuti proses hukum yang dijalani Ahok secara transparan. Profesionalitas kepolisian pun diuji pada kasus ini, ketika tekanan muncul dari berbagai arah, pihak kepolisian masih bisa bekerja cepat dengan kepala dingin. Bahkan pihak Polri kini menjamin bahwa kasus Ahok bebas intervensi.
Angin badai menerjang, rupanya Ahok tidak patah semangat dan terus berjuang. Kasus ini tidak menghalangi tekad Ahok untuk maju dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta. Ahok tidak bisa gugur dalam Pemilu karena belum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan. Dalam hal ini unsur niat jahat (mensrea) sangat penting dalam proses hukum yang dijalani oleh Ahok. Berkaitan dengan pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta maka bagaimana bisa Ahok memiliki niat menistakan agama, padahal posisinya saat itu sedang dalam pencalonan gubernur dan tentunya ia mengharapkan dukungan warga Jakarta yang mayoritas memeluk agama Islam.
Berikut adalah penjelasan singkat Aksi Bela Islam yang (sementara) terbagi menjadi tiga aksi. (sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Aksi_Bela_Islam )
Penjelasan
Aksi Bela Islam I
Aksi Bela Islam II
Aksi Bela Islam III
Tanggal
14 Oktober 2016
4 November 2016
2 Desember 2016
Deskripsi Singkat
Seusai shalat Jumat, ribuan ormas Islam yang dikomandoi oleh FPI melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Dalam aksinya, mereka menuntut agar penyelidikan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama segera dilakukan. Habib Rizieq Shihab yang juga pimpinan FPI mengecam akan melakukan aksi yang lebih besar jika tidak kunjung merespon kasus ini dalam 3 Minggu berikutnya.[1]
Berbagai macam respon muncul menanggapi unjuk rasa ini, mulai dari yang mendukung sampai yang kontra. Basuki sendiri menyoroti kerusakan taman yang dinyatakan akibat ulah para pengunjuk rasa.[2]
Proses penyelidikan yang dianggap berjalan sangat lamban membuat ormas Islam kembali menghimpun massa dalam jumlah yang lebih besar. Berbagai pesan disebarkan melalui media sosial untuk mengundang masyarakat hadir dan turut serta dalam unjuk rasa Aksi Bela Islam II yang nantinya lebih dikenal dengan 'Aksi 4 November' atau 'Aksi Damai 411'.
Pada awal November 2016, para pengunjuk rasa yang berasal dari luar daerah mulai berduyun-duyun datang menuju DKI Jakarta untuk menghadiri aksi ini.[3]
Pada 4 November 2016, aksi unjuk rasa ini kembali diadakan dengan jumlah massa yang sangat besar sekitar ratusan ribu orang. Aksi ini dimulai usai shalat Jumat dan menjadikan posisi di depan Istana Negara sebagai pusatnya. Kali ini para pengunjuk rasa berusaha agar tidak melakukan pengrusakan dan menjaga kebersihan agar tidak dikritik sebagaimana demo sebelumnya.[4] Selain di Jakarta, aksi serupa juga diadakan di beberapa kota lainnya di Indonesia. [5]
Di Jakarta, perwakilan dari pengunjuk rasa diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Menkopolhukam, Wiranto dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla untuk mendiskusikan jalan keluar terkait kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki.[6] Pengunjuk rasa juga menuntut untuk bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan meminta agar Presiden tidak mengintervensi penyelidikan kasus ini. Pada saat itu, Presiden sendiri sedang tidak berada di istana negara dengan alasan kunjungan untuk meninjau pembangunan stasiun kereta api di bandara Soekarno-Hatta.[7]
GNPF MUI selaku penyelenggara Aksi Bela Islam II mengungkapkan akan mengadakan kembali aksi serupa pada tanggal 2 Desember 2016. Habib Rizieq menyampaikan bahwa aksi ini akan berlangsung dengan super damai karena diadakan dalam bentuk ibadah bersama.[8]
Pernyataan ini mendapatkan tanggapan beragam. Ketua DPR RI, Ade Komaruddin memilih untuk tidak menanggapi aksi tersebut dan meminta wartawan untuk bertanya langsung kepada para penyelenggara.[9] Sedangkan Kapolri, Tito Karnavian mengancam tidak akan mengeluarkan izin untuk aksi tersebut karena khawatir akan ditunggangi.[10] Setelah terjadi kesepakatan antara pihak penyelenggara dan kepolisian, maka aksi ini dapat berlangsung dengan kegiatan yang berupa berdoa dan melakukan salat Jumat bersama. Presiden Joko Widodo hadir dalam acara ini dan disambut hangat oleh para peserta aksi.[11][12]
Aksi tandingan

-    Aksi Apel Nusantara pada tanggal 6 November 2016
-    Pada tanggal 19 November partai pendukung Ahok mengadakan kegiatan parade kebhinekaan
-    Pada tanggal 30 November diadakan Gerakan Nusantara Bersatu yang diusung Panglima TNI
Aksi Parade Budaya #KitaIndonesia pada tanggal 4 Desember 2016 di arena car free day Bundaran HI

Sesuatu yang kecil mungkin akan dengan mudah kita abaikan, namun sesuatu yang besar tentunya akan nampak dipelupuk mata. Aksi Bela Islam yang mengerahkan begitu banyak orang telah menjadi sorotan publik dan media saat ini. Melihat massa bersama-sama menyuarakan hak demokrasinya di Jakarta menunjukan bahwa people power mampu mengubah keadaan suatu negara. Keadaan yang asalnya berjalan dengan normal, dimana banyak warga Jakarta yang melintas lalu-lalang dijalanan ibu kota tiba-tiba berubah saat terjadinya demonstrasi. Disisi lain banyak orang meraup keuntungan dengan cara berdagang ditengah kerumunan massa. Warna-warni masyarakat saat itu berkumpul menjadi satu. Demonstrasi ini memberikan keuntungan bagi sebagian pihak namun sebagian lagi harus mendapatkan kerugian.
Bercermin pada Marxisme (Gaarder, 2006), dimana people power menjadi sebuah senjata yang tak terelakan, pada saat itu people power berasal dari kaum proletar. Mereka (bersama-sama) memberontak dalam menuntut keadilan kepada pemerintah. Keadaan seperti itulah yang menonjolkan sisi buruk dari demokrasi, namun tidak serta merta sosialisme sebagai penggantinya. Hegelianisme (Gaarder, 2006) beranggapan bahwa realitas merupakan proses sejarah yang terus berlangsung dan untuk dapat memahami realitas kita harus bisa memahami hakikat perubahan sejarah itu sendiri. Kita harus mampu belajar dari sejarah, jangan sampai mobocracy terjadi (kembali) di negara kita. Mobocracy (Tempo, 5 Desember 2016) merupakan istilah yang dipinjam dari filsuf Aristoteles pada awal kemunculan demokrasi, menunjuk kepada sebuah keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan orang, suatu kondisi buruk yang rentan anarkisme. Ada kerinduan yang terselip disetiap masyarakat Indonesia. Kerinduan akan pemimpin yang mampu memahami rakyatnya dan senantiasa memberikan kesejukan dalam kedamaian. Ketika rindu sudah memuncak dan tidak bisa tertahankan lagi, maka bisa saja terjadi mobocracy yang mengakibatkan kehancuran.
People power, tidak hanya mengubah suatu keadaan, paradigma masyarakat juga turut berubah. Terutama paradigma masyarakat terhadap pemimpin dalam menjalankan pemerintahan. Fatal jadinya jika seorang pemimpin melakukan kesalahan, apalagi kesalahannya berhubungan dengan penodaan RAS. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin tentunya akan semakin luntur. Sudah menjadi hal yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seorang pemimpin harus memiliki sikap yang menjadi teladan bagi rakyatnya. Bagaimanapun Indonesia tidak bisa dipimpin oleh pemimpin yang terlalu impulsif sehingga banyak kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan keluar dari mulutnya. Mulut mu harimau mu! Itulah yang terjadi pada Ahok yang kini sedang terancam oleh harimau dari mulutnya sendiri. Pernyataan Ahok memancing reaksi yang beragam dari  masyarakat. Ada yang tetap mendukung Ahok, ada yang acuh tak acuh, dan ada juga yang membencinya. Ketua FPI bahkan berkomentar “kami minta polisi menangkap Ahok. Kalau tidak kami bunuh!” Tidak hanya itu, ada juga yang mengunggah video sayembara di Youtube. Pada video tersebut ada seorang pria berkata “Ingat, gua kasih 1 miliar yang bisa bunuh Ahok, hidup atau mati, serahin kepalanya  kesini.” Serangan tidak hanya terjadi kepada Ahok, namun juga terjadi pada pendemo Ahok. Salah satunya adalah Ahmad Dhani. Saat berorasi dalam aksi 411 secara lantang ia mengatakan “Saya sangat sedih sekali mempunyai presiden yang tidak menghargai habib dan ulama… Presidennya anjing!” Akibat dari perkataannya tersebut ia diancam hukuman karena secara terang-terangan telah menghina presiden.
Serentetan kata-kata yang tidak pantas tersebut diajukan dari masyarakat kepada pemimpin. Dimana letak kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya? Apakah kita mulai memasuki era mobocracy, dimana pemimpin tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri? Bukankah dalam negara demokrasi kedaulatan berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pemimpin lahir dari pilihan masyarakat itu sendiri lalu mengapa kini masyarakat menodai kedaulatannya dengan melakukan tindakan yang menyakiti hati pemimpinnya. Pemimpin bagaikan nakhoda kapal, tanpa adanya nakhoda niscaya kapal tidak akan pernah berlabuh pada tujuan yang tepat. Kapal tanpa nakhoda akan terombang-ambing ditengah ganasnya ombak laut.
Urgensi dalam mengatasi mobocracy dan people power di Indonesia harus segera diselesaikan. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Masalah yang terjadi tidak mungkin bisa diselesaikan jika people power dibalas dengan people power, aksi dibalas dengan aksi, atau pro dibalas dengan kontra. Hal tersebut akan rentan dengan tindakan anarkis dan peperangan. Disisi lain, kita hidup di negara demokrasi yang tiap-tiap individu memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya melalui berbagai cara termasuk demonstrasi.
Negara yang menganut paham demokrasi tidak boleh melarang warganya untuk melakukan demonstrasi. Justru sebaliknya, negara harus melindungi hak warganya dalam menyampaikan aspirasi. Sejauh ini demonstrasi menjadi sarana yang paling jitu dalam proses penyampaian aspirasi. Demonstrasi tidak akan pernah terlepas dari nilai dan norma yang berlaku. Idealnya pelaksanaan demonstrasi itu tidak boleh mengganggu aktivitas masyarakat, apalagi jika sampai merusak fasilitas dan ketertiban umum. Pada faktanya di Indonesia demonstrasi identik dengan suasana yang kurang kondusif, namun tidak ada yang salah dari Aksi Bela Islam kemarin. Aksi ini semata-mata dilakukan untuk menyampaikan aspirasi dan dilakukan dengan damai, walaupun pada akhirnya memicu terjadinya kericuhan pada Aksi Bela Islam II.
Adakah cara yang lebih baik dari demonstrasi? Menanggapi kasus Ahok, Ahmad Ishomuddin (PB Nahdlatul Ulama) berkomentar “Kasus Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang keseleo lidahnya itu sudah meminta maaf, sudah seharusnya membuka hati umat Islam untuk memaafkannya.” Setiap agama mengajarkan kebaikan kepada umatnya. Penistaan agama merupakan salah satu hal yang paling menyakiti hati umatnya. Namun sebaik-baiknya umat ialah umat yang mampu dengan lapang dada memaafkan dan mendoakan yang terbaik kepada sesamanya. Ajaran agama menggiring kita kepada keadaan damai sehingga semua makhluk berhak berbahagia, Buddha mengatakan “sarva prani hitan karah” yang artinya semua makhluk  berbahagia. Berkaitan dengan ajaran agama, cara terbaik menyampaikan aspirasi adalah dengan doa, namun cara tercerdas dalam menyampaikan aspirasi adalah dengan menulis dan mempublikasikannya. Jikapun harus berurusan dengan pemerintah, maka sudah selayaknya kita memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang taat aturan sebelum menuntut hak aspirasi kepada pemerintah.
Intinya, tindakan preventif untuk mobocracy dan people power adalah dengan dibangun kembali kedaulatan rakyat. Hal tersebut tercermin dalam pemerintahan yang mampu bersikap adil, mengayomi, dan memiliki wibawa. Kedaulatan rakyat dapat dibangun mulai dari masing-masing individu. Membangun kedamaian dan ketenangan dalam berkebangsaan diawali dengan khusnudzan (berpikiran positif). Oleh karena itu berpikirlah sebelum bertindak, jadilah warga negara yang cerdas dalam menyampaikan aspirasi.
Kesimpulannya, serahkanlah kasus Ahok ini kepada pihak yang berwajib, kita kawal terus aparat hukum yang menanganinya. Doakan yang terbaik untuk umat, biarkan Tuhan menunjukan siapa yang salah disini. Biarkan alam menghukum sang pendusta.






Referensi :
Gaarder, Jostein. (2006). Dunia Sophie: Novel Pengantar Filsafat. Bandung : Mizan
Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 4 November 2016
Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 6 Desember 2016
Koran Tempo Edisi 5 November – 6 Desember 2016
Catatan Kaki :
1.      ^ Suara.com. "Demo Ormas Islam Bubar, Sebelum Pergi, Rizieq Keluarkan Ancaman". suara.com. Diakses tanggal 2016-11-21.
2.      ^ "Taman Balai Kota Rusak Akibat Demo, Ahok: Ampunilah Mereka | Tempo Metro". Tempo Metro. Diakses tanggal 2016-11-21.
3.      ^ "Demo 4 November, Massa dari Luar Kota Mulai Berdatangan ke Jakarta". SINDOnews.com. 2016-11-02. Diakses tanggal 2016-11-22.
4.      ^ "Koordinator Aksi 4 November Minta Massa Bawa Kantong untuk Tampung Sampah". detiknews. Diakses tanggal 2016-11-22.
5.      ^ "Selain Jakarta, Sejumlah Daerah Juga Gelar Aksi Tolak Ahok". CNN Indonesia. Diakses tanggal 2016-11-22.
6.      ^ "Wapres JK Bertemu Perwakilan Massa Demo 4 November". detiknews. Diakses tanggal 2016-11-22.
7.      ^ "Demo 4 November, Jokowi Pilih Tinjau Proyek Kereta Bandara". SINDOnews.com. 2016-11-04. Diakses tanggal 2016-11-22.
8.      ^ "Habib Rizieq Jamin Aksi Bela Islam III Berjalan Super Damai | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2016-11-22.
9.      ^ "Ketua DPR Enggan Tanggapi Rencana Aksi Bela Islam Jilid III | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2016-11-22.
10.  ^ VIVA.co.id, PT. VIVA MEDIA BARU -. "Kata Kapolri Soal Aksi Bela Islam III". Diakses tanggal 2016-11-22.
11.  ^ "Teriakan Takbir Sambut Presiden Jokowi di Monas". news.okezone.com. Diakses tanggal 2 Desember 2016.

12.  ^ "Jalan Kaki ke Monas, Jokowi Salat Jumat Bersama Massa Aksi Damai 212". news.okezone.com. Diakses tanggal 2 Desember 2016.