URGENSI ATASI MOBOCRACY DAN PEOPLE POWER DI INDONESIA: TANGGAPAN TERHADAP KASUS AHOK DAN AKSI
BELA ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata
Kuliah
Filsafat Pendidikan
Dosen
Pengampu : Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum.
Oleh
Eli Meivawati (16701251017)
PROGRAM STUDI S-2 PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Aksi Bela Islam merupakan serentetan
aksi unjuk rasa yang mengerahkan massa sebagai bentuk reaksi atas pernyataan
Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama dalam kunjungan
kerjanya di Kepulauan Seribu. Aksi Bela Islam itu sendiri terpusat di daerah
ibu kota Jakarta. Kasus ini bermula pada 6 Oktober 2016 dari laporan Advokat
Cinta Tanah Air (ACTA) yang melaporkan bahwa Ahok telah melakukan penistaan
agama. Tepatnya pada 27 September 2016, saat Ahok melakukan kunjungan kerja di Kepulauan
Seribu beliau menyampaikan pidato yang dianggap menistakan agama Islam, pada
saat itu beliau mengatakan “…Kan bisa
saja dalam hati kecil bapak-ibu enggak bisa pilih saya karena dibodohi pakai
surat Al-Maidah 51, macem-macem gitu loh…” sedangkan para audience saat itu hanya menanggapinya
dengan tertawa ringan. Pidato ini pun menjadi viral karena ada yang mengunggah
videonya di akun sosial media. Video yang viral
tersebut sukses menyulut api emosi umat muslim dan mengakibatkan terjadinya
demo (dibaca: Aksi Bela Islam). Demo merupakan hak demokrasi warga, tentunya
kita tidak ingin demo tersebut ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang
memiliki tujuan menyimpang. Bukankah demo tersebut dilakukan semata-mata untuk
menunjukan sikap terhadap pernyataan Ahok? Jika aksi tersebut ditujukan kepada
pemerintahan terutama Jokowi, maka Ahok hanya akan menjadi buih saja. Andai
kata aksi ini tujuannya menyimpang ke arah makar, maka tidak menutup
kemungkinan kejadian terbukanya kotak pandora pada tahun 1998 akan terulang
kembali. Sungguh hal yang akan menjadi aib dimata dunia ketika pemerintahan di
Indonesia tidak lagi memiliki wibawa untuk memimpin rakyatnya sendiri.
Buni Yani yang mengunggah video Ahok di akun sosial
media miliknya kini sudah dipidanakan karena dianggap telah mengedit video
dengan menghilangkan kata “pakai” dalam pidato Ahok. Dicermati lebih jauh,
penggunaan kata pakai dengan tanpa penggunaan kata pakai bisa saja memiliki
makna yang berbeda, namun Buni Yani membantah bahwa dirinya telah mengedit video
tersebut. Kita bisa analogikan kisah Buni Yani dalam sebuah suasana ujian akhir
semester di kelas, ketika ujian dilaksanakan Buni Yani melihat Ahok tengah
mencontek dan berbuat curang, namun saat Buni Yani lapor kepada gurunya, ia
malah dimarahi dan diusir dari kelas. Kisah malang Buni Yani bisa dijadikan
pembelajaran bagi kita. Kearifan, nalar, dan konsekuensi harus kita pikirkan
matang-matang sebelum melaporkan suatu kejadian, apalagi jika kita
membagikannya di akun sosial media.
Sebelum
terjadinya Aksi Bela Islam I, pada tanggal 10 Oktober 2016 Ahok sudah meminta
maaf atas pernyataannya tersebut, ia juga menyampaikan bahwa ia tidak bermaksud
untuk menistakan agama. Sayangnya, permohonan maaf Ahok tidak diacuhkan dan pada
15 November 2016 Ahok ditetapkan menjadi tersangka. Ada yang aneh dalam proses
hukum yang dijalani Ahok karena walaupun ia sudah ditetapkan sebagai tersangka
tetapi ia tidak ditahan. Menurut Kepala Polri (dalam Tempo, 17 November 2016)
Ahok tidak ditahan karena tim penyidik menilai Ahok bersikap kooperatif, namun
Ahok juga dilarang untuk bepergian ke luar negeri sehingga paspornya ditahan.
Atas permintaan Jokowi gelar perkara kasus ini pun
dilaksanakan secara terbuka dengan harapan
masyarakat bisa mengikuti proses hukum yang dijalani Ahok secara
transparan. Profesionalitas kepolisian pun
diuji pada kasus ini, ketika tekanan muncul dari berbagai arah, pihak
kepolisian masih bisa bekerja cepat dengan kepala dingin. Bahkan pihak Polri
kini menjamin bahwa kasus Ahok bebas intervensi.
Angin badai menerjang, rupanya Ahok tidak patah
semangat dan terus berjuang. Kasus ini tidak menghalangi tekad
Ahok untuk maju dalam Pemilu Gubernur DKI Jakarta. Ahok tidak bisa gugur dalam
Pemilu karena belum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan. Dalam hal ini unsur niat jahat (mensrea) sangat penting dalam proses hukum yang dijalani oleh Ahok.
Berkaitan dengan pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta maka bagaimana bisa
Ahok memiliki niat menistakan agama, padahal posisinya saat itu sedang dalam
pencalonan gubernur dan tentunya ia mengharapkan dukungan warga Jakarta yang
mayoritas memeluk agama Islam.
Penjelasan
|
Aksi Bela
Islam I
|
Aksi Bela
Islam II
|
Aksi Bela
Islam III
|
Tanggal
|
14
Oktober 2016
|
4
November 2016
|
2
Desember 2016
|
Deskripsi
Singkat
|
Seusai shalat
Jumat, ribuan ormas Islam yang dikomandoi oleh FPI melakukan aksi unjuk rasa
di depan Balai Kota DKI Jakarta. Dalam aksinya, mereka menuntut agar
penyelidikan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama segera dilakukan. Habib Rizieq Shihab yang
juga pimpinan FPI mengecam akan melakukan aksi yang lebih besar jika tidak
kunjung merespon kasus ini dalam 3 Minggu berikutnya.[1]
Berbagai macam respon muncul menanggapi
unjuk rasa ini, mulai dari yang mendukung sampai yang kontra. Basuki sendiri
menyoroti kerusakan taman yang dinyatakan akibat ulah para pengunjuk rasa.[2]
|
Proses
penyelidikan yang dianggap berjalan sangat lamban membuat ormas Islam kembali
menghimpun massa dalam jumlah yang lebih besar. Berbagai pesan disebarkan
melalui media sosial untuk mengundang masyarakat hadir dan turut serta dalam
unjuk rasa Aksi Bela Islam II yang nantinya lebih dikenal dengan 'Aksi 4
November' atau 'Aksi Damai 411'.
Pada awal
November 2016, para pengunjuk rasa yang berasal dari luar daerah mulai
berduyun-duyun datang menuju DKI Jakarta untuk menghadiri aksi ini.[3]
Pada 4 November
2016, aksi unjuk rasa ini kembali diadakan dengan jumlah massa yang sangat
besar sekitar ratusan ribu orang. Aksi ini dimulai usai shalat Jumat dan
menjadikan posisi di depan Istana Negara sebagai pusatnya. Kali ini para
pengunjuk rasa berusaha agar tidak melakukan pengrusakan dan menjaga
kebersihan agar tidak dikritik sebagaimana demo sebelumnya.[4]
Selain di Jakarta, aksi serupa juga diadakan di beberapa kota lainnya di
Indonesia. [5]
Di Jakarta,
perwakilan dari pengunjuk rasa diberikan kesempatan untuk bertemu dengan
Menkopolhukam, Wiranto dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla
untuk mendiskusikan jalan keluar terkait kasus penistaan agama yang
melibatkan Basuki.[6]
Pengunjuk rasa juga menuntut untuk bertemu dengan Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo dan meminta agar Presiden tidak mengintervensi
penyelidikan kasus ini. Pada saat itu, Presiden sendiri sedang tidak berada
di istana negara dengan alasan kunjungan untuk meninjau pembangunan stasiun
kereta api di bandara Soekarno-Hatta.[7]
|
GNPF MUI selaku
penyelenggara Aksi Bela Islam II mengungkapkan akan mengadakan kembali aksi
serupa pada tanggal 2 Desember 2016. Habib Rizieq menyampaikan bahwa aksi ini
akan berlangsung dengan super damai karena diadakan dalam bentuk ibadah
bersama.[8]
Pernyataan ini
mendapatkan tanggapan beragam. Ketua DPR RI, Ade Komaruddin memilih untuk
tidak menanggapi aksi tersebut dan meminta wartawan untuk bertanya langsung
kepada para penyelenggara.[9]
Sedangkan Kapolri, Tito Karnavian mengancam tidak akan mengeluarkan izin
untuk aksi tersebut karena khawatir akan ditunggangi.[10]
Setelah terjadi kesepakatan antara pihak penyelenggara dan kepolisian, maka
aksi ini dapat berlangsung dengan kegiatan yang berupa berdoa dan melakukan
salat Jumat bersama. Presiden Joko Widodo hadir dalam acara ini dan disambut
hangat oleh para peserta aksi.[11][12]
|
Aksi tandingan
|
|
- Aksi Apel
Nusantara pada tanggal 6 November 2016
- Pada tanggal
19 November partai pendukung Ahok mengadakan kegiatan parade kebhinekaan
- Pada tanggal
30 November diadakan Gerakan Nusantara Bersatu yang diusung Panglima TNI
|
Aksi
Parade Budaya #KitaIndonesia pada tanggal 4 Desember 2016 di arena car free day Bundaran HI
|
Sesuatu yang kecil mungkin akan dengan mudah kita
abaikan, namun sesuatu yang besar tentunya akan nampak dipelupuk mata. Aksi
Bela Islam yang mengerahkan begitu banyak orang telah menjadi sorotan publik
dan media saat ini. Melihat massa bersama-sama menyuarakan hak demokrasinya di
Jakarta menunjukan bahwa people power
mampu mengubah keadaan suatu negara. Keadaan yang asalnya berjalan dengan
normal, dimana banyak warga Jakarta yang melintas lalu-lalang dijalanan ibu
kota tiba-tiba berubah saat terjadinya demonstrasi. Disisi lain banyak orang
meraup keuntungan dengan cara berdagang ditengah kerumunan massa. Warna-warni
masyarakat saat itu berkumpul menjadi satu. Demonstrasi ini memberikan
keuntungan bagi sebagian pihak namun sebagian lagi harus mendapatkan kerugian.
Bercermin pada Marxisme (Gaarder, 2006), dimana people power menjadi sebuah senjata yang
tak terelakan, pada saat itu people power
berasal dari kaum proletar. Mereka (bersama-sama) memberontak
dalam menuntut keadilan kepada pemerintah. Keadaan seperti itulah yang
menonjolkan sisi buruk dari demokrasi, namun tidak serta merta sosialisme
sebagai penggantinya. Hegelianisme (Gaarder, 2006) beranggapan bahwa realitas
merupakan proses sejarah yang terus berlangsung dan untuk dapat memahami
realitas kita harus bisa memahami hakikat perubahan sejarah itu sendiri. Kita
harus mampu belajar dari sejarah, jangan sampai mobocracy terjadi (kembali) di negara kita. Mobocracy (Tempo, 5 Desember 2016) merupakan istilah yang dipinjam
dari filsuf Aristoteles pada awal kemunculan demokrasi, menunjuk kepada sebuah
keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan orang, suatu kondisi buruk yang
rentan anarkisme. Ada kerinduan yang terselip disetiap masyarakat Indonesia.
Kerinduan akan pemimpin yang mampu memahami rakyatnya dan senantiasa memberikan
kesejukan dalam kedamaian. Ketika rindu sudah memuncak dan tidak bisa
tertahankan lagi, maka bisa saja terjadi mobocracy
yang mengakibatkan kehancuran.
People power, tidak hanya mengubah suatu keadaan, paradigma
masyarakat juga turut berubah. Terutama paradigma masyarakat terhadap pemimpin
dalam menjalankan pemerintahan. Fatal jadinya jika seorang pemimpin melakukan
kesalahan, apalagi kesalahannya berhubungan dengan penodaan RAS. Kepercayaan
masyarakat terhadap pemimpin tentunya akan semakin luntur. Sudah menjadi hal
yang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seorang pemimpin harus memiliki sikap
yang menjadi teladan bagi rakyatnya. Bagaimanapun Indonesia tidak bisa dipimpin
oleh pemimpin yang terlalu impulsif sehingga banyak kata-kata yang tidak
seharusnya diucapkan keluar dari mulutnya. Mulut mu harimau mu! Itulah yang
terjadi pada Ahok yang kini sedang terancam oleh harimau dari mulutnya sendiri.
Pernyataan Ahok memancing reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada yang tetap mendukung Ahok,
ada yang acuh tak acuh, dan ada juga yang membencinya. Ketua FPI bahkan
berkomentar “kami minta polisi menangkap
Ahok. Kalau tidak kami bunuh!” Tidak hanya itu, ada juga yang mengunggah
video sayembara di Youtube. Pada video tersebut ada seorang pria berkata “Ingat, gua kasih 1 miliar yang bisa bunuh
Ahok, hidup atau mati, serahin kepalanya kesini.” Serangan tidak hanya terjadi
kepada Ahok, namun juga terjadi pada pendemo Ahok. Salah satunya adalah Ahmad
Dhani. Saat berorasi dalam aksi 411 secara lantang ia mengatakan “Saya sangat sedih sekali mempunyai presiden
yang tidak menghargai habib dan ulama… Presidennya anjing!” Akibat dari
perkataannya tersebut ia diancam hukuman karena secara terang-terangan telah
menghina presiden.
Serentetan kata-kata yang tidak pantas tersebut
diajukan dari masyarakat kepada pemimpin. Dimana letak kepercayaan masyarakat
kepada pemimpinnya? Apakah kita mulai memasuki era mobocracy, dimana pemimpin tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya
sendiri? Bukankah dalam negara demokrasi kedaulatan berasal dari rakyat dan
untuk rakyat. Pemimpin lahir dari pilihan masyarakat itu sendiri lalu mengapa
kini masyarakat menodai kedaulatannya dengan melakukan tindakan yang menyakiti
hati pemimpinnya. Pemimpin bagaikan nakhoda kapal, tanpa adanya nakhoda niscaya
kapal tidak akan pernah berlabuh pada tujuan yang tepat. Kapal tanpa nakhoda
akan terombang-ambing ditengah ganasnya ombak laut.
Urgensi dalam
mengatasi mobocracy dan people power di Indonesia harus segera
diselesaikan. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Masalah yang terjadi tidak mungkin bisa diselesaikan
jika people power dibalas dengan people power, aksi dibalas dengan aksi,
atau pro dibalas dengan kontra. Hal tersebut akan rentan dengan tindakan
anarkis dan peperangan. Disisi lain, kita hidup di negara demokrasi yang
tiap-tiap individu memiliki hak untuk menyuarakan aspirasinya melalui berbagai
cara termasuk demonstrasi.
Negara yang menganut paham demokrasi tidak boleh
melarang warganya untuk melakukan demonstrasi. Justru sebaliknya, negara harus
melindungi hak warganya dalam menyampaikan aspirasi. Sejauh ini demonstrasi
menjadi sarana yang paling jitu dalam proses penyampaian aspirasi. Demonstrasi
tidak akan pernah terlepas dari nilai dan norma yang berlaku. Idealnya
pelaksanaan demonstrasi itu tidak boleh mengganggu aktivitas masyarakat,
apalagi jika sampai merusak fasilitas dan ketertiban umum. Pada faktanya di
Indonesia demonstrasi identik dengan suasana yang kurang kondusif, namun tidak
ada yang salah dari Aksi Bela Islam kemarin. Aksi ini semata-mata dilakukan
untuk menyampaikan aspirasi dan dilakukan dengan damai, walaupun pada akhirnya
memicu terjadinya kericuhan pada Aksi Bela Islam II.
Adakah cara yang lebih baik dari demonstrasi?
Menanggapi kasus Ahok, Ahmad Ishomuddin (PB Nahdlatul Ulama) berkomentar “Kasus Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang
keseleo lidahnya itu sudah meminta maaf, sudah seharusnya membuka hati umat
Islam untuk memaafkannya.” Setiap agama mengajarkan kebaikan kepada
umatnya. Penistaan agama merupakan salah satu hal yang paling menyakiti hati
umatnya. Namun sebaik-baiknya umat ialah umat yang mampu dengan lapang dada
memaafkan dan mendoakan yang terbaik kepada sesamanya. Ajaran agama menggiring
kita kepada keadaan damai sehingga semua makhluk berhak berbahagia, Buddha
mengatakan “sarva prani hitan karah” yang
artinya semua makhluk berbahagia. Berkaitan
dengan ajaran agama, cara terbaik menyampaikan aspirasi adalah dengan doa,
namun cara tercerdas dalam menyampaikan aspirasi adalah dengan menulis dan
mempublikasikannya. Jikapun harus berurusan dengan pemerintah, maka sudah
selayaknya kita memenuhi kewajiban sebagai warga negara yang taat aturan
sebelum menuntut hak aspirasi kepada pemerintah.
Intinya, tindakan preventif untuk mobocracy dan people power adalah dengan dibangun kembali kedaulatan rakyat. Hal
tersebut tercermin dalam pemerintahan yang mampu bersikap adil, mengayomi, dan
memiliki wibawa. Kedaulatan rakyat dapat dibangun mulai dari masing-masing
individu. Membangun kedamaian dan ketenangan dalam berkebangsaan diawali dengan
khusnudzan (berpikiran positif). Oleh
karena itu berpikirlah sebelum bertindak, jadilah warga negara yang cerdas
dalam menyampaikan aspirasi.
Kesimpulannya, serahkanlah kasus Ahok ini kepada
pihak yang berwajib, kita kawal terus aparat hukum yang menanganinya. Doakan
yang terbaik untuk umat, biarkan Tuhan menunjukan siapa yang salah disini.
Biarkan alam menghukum sang pendusta.
Referensi :
Gaarder,
Jostein. (2006). Dunia Sophie: Novel
Pengantar Filsafat. Bandung : Mizan
Koran
Kedaulatan Rakyat Edisi 4 November 2016
Koran
Kedaulatan Rakyat Edisi 6 Desember 2016
Koran
Tempo Edisi 5 November – 6 Desember 2016
Catatan Kaki :