Yogyakarta,
Cita, dan Rindu
Sore ini Yogyakarta
dilanda sendu, langit tak juga tunjukan senjanya. Awan semakin kelabu, menahan
beratnya mendung. Seperti aku disini yang mencoba membendung rindu. Aku berasal
dari kota yang (sebenarnya) tidak terlalu jauh dari Yogyakarta, namun aku harus
berpikir sepuluh ribu kali untuk pulang ke rumah. Walau rindu, aku tetap saja
harus mempertimbangkan beberapa faktor yang membuatku harus tetap bertahan
disini, salah satunya adalah “cita”. Cita yang didalamnya berisi keinginan,
ambisi, dan pertaruhan.
Kali pertamanya aku harus
merasakan rindu karena jauh dari orang tua. Rasanya begitu berat. Sangat
membebani pikiran ketika rasa cemas tiba-tiba muncul, mengingatkanku kepada
seseorang yang biasa aku panggil “mama”. Saat aku masih di Bandung dan tinggal
bersama mama, papa, dan adik, hidupku serba berkecukupan dengan disediakannya
makanan serta fasilitas gratis lainnya. Kini saat aku harus jauh dari mereka,
aku harus melakukan semua hal sendiri, dan beberapa hal yang gratis pun menjadi berbayar. Betapa perhitungannya
diriku untuk urusan uang. Rasa khawatir akan “kekurangan dana” dan “merepotkan
orang tua” lah yang membuat aku
sebegitunya.
Aku tinggal di daerah
Karangmalang, dekat dengan kampus UNY, tempat dimana aku kuliah. Aku mengambil
program pascasarjana dengan program studi master Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan. Beberapa kesan yang ingin aku sampaikan saat pertama kali sampai di
Yogyakarta adalah “panas”, “ramah”, dan “sulit kendaraan umum”. Cuaca di
Yogyakarta memang cukup panas, terkadang aku harus setengah berlari agar aku
tidak terlalu lama jalan dibawah terik matahari. Mau tidak mau, aku harus lebih
banyak berjalan kaki karena akses kendaraan umum di Yogyakarta sangat sulit.
Disini sangat sulit sekali menemukan angkutan kota (angkot), hanya terdapat
mini bus yang berhentinya di shelter tertentu. Yogyakarta, kota yang cukup
ramah jika dibandingkan dengan kota besar lainnya. Disini kamu bisa makan
dengan menu nasi+ayam+sayur hanya dengan tiga puluh ribu rupiah sehari (untuk
tiga kali makan). Menu makanan disini cukup bervariatif, namun yang menjadi
ciri khas dari setiap penjual makanannya yaitu makanan yang serba di “penyet”
atau di “geprek”. Ciri khas lain tempat makan di Yogyakarta yaitu harga air
mineral pergelas biasanya 0 rupiah, ada juga yang mematok harga 1000 rupiah
pergelasnya, dan jika kamu memesan teh maka kamu akan dibuatkan teh yang
rasanya manis, berbeda dengan di Bandung yang jika kamu memesan teh maka akan
dibuatkan teh yang rasanya tawar. Hal
lain yang menarik adalah kamu tidak akan kesulitan mencari tempat tinggal di
Yogyakarta, hampir disetiap jalan, gang, dan pelosok (sekitaran kampus) pasti
ada saja kosan yang kosong. Biaya sewa kos di Yogyakarta cukup terjangkau yaitu kisaran 3,5 juta
sampai dengan 5,5 juta untuk kamar dengan WC diluar sedangkan untuk kamar
dengan WC pribadi biaya kosnya cukup mahal yaitu kisaran 7 juta sampai dengan
10 juta pertahunnya. Masalah makan dan tempat tinggal memang tergantung gaya
hidup masing-masing individu.
Gaya hidup,
kesederhanaan.
Tetaplah menjadi
sederhana.
No comments:
Post a Comment