Mimpi adalah kosong. Berulang kali gadis itu mencari
mimpi-mimpinya dalam kehidupan nyata. Tetapi tetap saja hanya puing-puing debu
berhamburan yang mengahampirinya. Menurutnya mimpi, harapan, dan kekosongan
adalah sama. Tidak ada yang lebih baik dari perencanaan yang matang. Itulah
yang disampaikan gadis tersebut kepada temannya. Gadis itu bernama Filia.
Semenjak kejadian tragis yang sempat menerpanya, dia semakin dekat dengan
seorang laki-laki bernama Filix. Kini Filix menjadi telinga yang baik bagi
Filia. Siapa lagi? Hanya Filix yang mau mendengarkan Filia berbicara. Walaupun
terkadang ucapan-ucapannya seperti bumi yang tidak memiliki gravitasi. Terbang
bebas. Tidak terikat. Bebas sebebas-bebasnya.
Bandung, 26 Agustus 1999
Siang itu matahari bergumam dengan merdunya. Menyambut
seorang sarjana pendidikan terbaik. Tertulis pada lembaran yang tergulung,
Filia M Abdullah lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Keluarga Filia pun
menyambut kesuksesan Filia dengan rasa senang. Kini senyuman bertabur disetiap
rona wajah orang-orang terdekat Filia.
Malam harinya, Filia masih saja sibuk menerima
ucapan selamat. Namun, tak lagi Filia acuhkan. Kini saatnya dia kembali membuka
mimpi-mimpinya yang telah lama dituliskan jauh sebelum Filia menjadi sarjana
pendidikan terbaik. Dia memiliki banyak mimpi yang sudah diwujudkan. Hanya satu
yang belum menjadi kenyataan. Keinginannya untuk pergi ke luar dari Bandung,
mencari anak-anak dalam mimpinya. Lalu, membawa anak-anak itu masuk ke dalam
atap sekolah yang didirikannya bersama seorang pangeran yang penyayang. Dan
lagi, dia hanyut membawa mimpi-mimpi tersebut kedalam tidurnya malam itu.
Filia tidak lagi bingung mencari kerja. Dia langsung
ditempatkan pada sebuah lembaga penelitian di bidang pendidikan. Tugas kerja
pertamanya adalah menjadi seorang agen sekaligus peneliti di daerah terpencil
sekitar Sulawesi Utara. Filia diberi dana untuk penelitian selama tiga bulan.
Dengan waktu yang diberikan sesingkat itu, Filia harus mampu membuat perubahan
dalam bidang pendidikan. Entah itu membangun sekolah, membujuk warga untuk
aktif di bidang pendidikan, ataupun mengajar para manula untuk melek huruf.
Filia merasa muda dan semakin muda dengan tugas yang diberikan padanya. Dia
merasa mimpinya sudah semakin dekat. Senyumpun merekah di bibirnya.
Tagulandang, Sulawesi Utara
Hampir dua hari Filia dalam perjalanan. Hanya
tinggal memakai ojek dia bisa sampai ke tempat tujuannya. Hari itu matahari
hampir tenggelam, setelah cukup lama menunggu, akhirnya Filia menemukan tukang
ojek. Jantungnya berdegup kencang, rasa penasaran semakin memuncak untuk segera
melihat tempat tugas pertamanya. Namun, mengapa perasaannya semakin tidak
karuan. Ojek yang dinaikinya tidak juga berhenti. Berulang kali Filia bertanya
kepada orang yang mengendarai ojek tersebut, tetapi tidak ada jawaban ataupun
respon. Filia bingung, apakah orang tersebut tidak bisa berbicara atau memang
orang itu memiliki niat yang buruk kepada dirinya. Kini matahari benar-benar
tenggelam, Filia dibawa ke dalam sebuah hutan nan gelap. Filia dipaksa turun,
barang-barang berharganya diambil oleh tukang ojek tetapi tidak dengan uang
yang ada disaku bajunya. Filia mencoba melawan dan berteriak. Tidak ada satupun
yang meresponnya. Sampai akhirnya dia pingsan karena terkena pukulan dari
tukang ojek tersebut.
Malam itu langit tampak begitu gelap. Tidak ada
satupun bintang yang menggantung menerangi malam. Hujan pun turun dengan
derasnya. Tetesan air hujan membasahi sekujur tubuh Filia yang tidak berdaya.
Air yang mengalir ke pelupuk matanya yang tertutup, seakan menandakan tangisan
dalam mimpinya ketika pingsan. Malam pun berlalu dengan dinginnya hujan. Kini
ucapkanlah selamat pagi kepada terang. Pelan-pelan mata Filia terbuka, dia
mendapati dirinya berada di dalam sebuah rumah. Sosok pertama yang dia lihat
saat itu adalah Filix. Seorang pemuda berbadan tegap dan memiliki mata sayup
yang indah. Dan di rumah gubuk beratapkan daun itulah mereka mulai berkenalan.
Filia menjelaskan tujuannya datang ke Tagulandang. Dia bertanya banyak hal
kepada Filix. Dengan senang hati Filix membantu Filia mencari tempat tugasnya.
Filix juga mengantarkan Filia ke kepala adat dan mencarikan tempat bermalam
untuknya. Akhirnya izin sudah dikantongi Filia. Dan selama penelitiannya Filia
tinggal bersama seorang janda tua yang tidak mempunyai anak. Sungguh Filia
banyak bersyukur akan keadaan dirinya saat itu.
Desember di Tagulandang
Siang itu Filia terduduk diam memandangi deburan
ombak yang seolah-olah mengarah kepadanya. Alam Tagulandang yang begitu indah
dengan pasir dan pantainya ternyata cukup kejam baginya. Hari demi hari Filia
jalani dengan meneliti keadaan pendidikan di Tagulandang. Hari ini adalah tepat
dua bulan Filia berada di Tagulandang. Filia masih saja belum berhasil membujuk
warga untuk turut serta membangun pendidikan di Tagulandang. Disini tidak ada
anak yang mau sekolah. Anak-anak begitu sibuk dengan jaring dan ikannya,
membantu orang tua berkebun, atau mengurus ternak. Selintas teringat Filix,
hampir dua bulan ini dia tidak bertemu dengan Filix. Siang itu pun dia langsung berjalan kaki
menuju kediaman Filix dan berencana meminta tolong untuk kesekian kalinya.
Sore hari di bukit Tagulandang, Filia dan Filix
mendirikan gubuk. Matahari yang terbenam terlihat jelas seolah-olah laut akan
memakannya. Rencananya gubuk itu akan digunakan Filia untuk mengumpulkan
anak-anak. Lalu berusaha kembali untuk membujuknya belajar dan mengenyam bangku
pendidikan. Pagi harinya Filix membawa sepuluh orang anak untuk belajar.
Keesokan harinya anak-anak itu datang lagi. Semakin hari semakin banyak anak yang
datang ke gubuk untuk belajar.
Kantor Dinas Pendidikan Sulawesi
Filia yakin, bahwa hari ini adalah hari dimana
mimpinya akan terwujud. Yaa sebentar
lagi mimpi Filia terwujud. Filia akan mendirikan sebuah sekolah. Bukan
sembarang sekolah. Tetapi ini adalah sekolah pertama di Tagulandang. Filia yang
ditemani Filix begitu senang berada di kantor dinas pendidikan untuk rapat yang
akan membahas perkembangan sekolah gubuknya. Hampir 30 menit Filia berbicara,
berpresentasi panjang lebar tetapi tidak ada satupun peserta rapat yang memberi
tepuk tangan kepada Filia. Ternyata tidak ada satupun peserta rapat yang setuju
dengan gagasan Filia yang akan membangun sebuah sekolah. Banyak yang
berkomentar itu akan menghambat pekerjaan para orang tua dan hanya akan
menghabiskan dana saja. Filia sejenak terdiam. Sekalipun ia berkata-kata pasti
akan kembali dicela. Filia pulang dengan tangan hampa. Dia kembali terduduk
diam di pinggir pantai. Yaa lagi-lagi
dia harus kembali melipat mimpi-mimpinya dan menyimpannya kedalam saku bajunya.
Hari semakin sore, dia teringat bahwa buku catatannya tertinggal di gubuk
belajar. Malam hari saat Filia kembali ke gubuk belajar, dia hanya diam
mematung. Filia tak kuasa menahan air mata. Gubuk belajar yang telah
didirikannya habis terbakar oleh warga. Seketika mimpi-mimpinya terbakar oleh
api kemarahan warga. Tak ada lagi kata-kata yang bisa dilontarkannya saat itu.
Hanya tangis dan tangis. Filix pun datang, tak ada kata-kata yang diucapkan
Filix. Hanya usapan tangan di bahu Filia, berusaha untuk menenangkan Filia. Dan
sejak saat itu Filia tidak memercayai adanya mimpi. Tetap, Filix hanya
mendengarkan. Filia merasa keberadaan dirinya di Tagulandang sudah tidak
berarti lagi. Filia memutuskan untuk kembali ke Bandung besok lusa. Berakhirlah
mimpi-mimpi Filia. Berakhir dengan tangis dan kecewa.
Keesokan paginya Filia mulai berbenah dan
bersiap-siap untuk pulang ke Bandung. Sesampainya di Bandung dia akan
melaporkan kegagalan tugas pertamanya. Masih ada sehari lagi untuk dia berada
di Tagulandung. Seharian itu dia gunakan hanya untuk duduk terdiam dipinggir
pantai. Besoknya, sebelum pulang, dia menyempatkan untuk pergi ke tempat dimana
gubuk belajarnya habis terbakar. Angin semilir menerbangkan rambutnya yang
panjang. Wajahnya yang manis perlahan memudar terhapus oleh air matanya.
Bibirnya yang tipis, digigitnya karena kecewa. Tangisnya semakin menjadi-jadi,
tangannya menggenggam batu dan melemparnya ke arah gubuk sembari berteriak
dengan kencangnya. Tiba-tiba Filia teringat Filix. Dan tanpa disangka Filix
sudah ada dibelakang Filia dengan senyum mengembang di bibirnya. Filia semakin
kesal karena Filix malah tersenyum ketika melihatnya menangis kecewa. Dengan
segera Filix menarik Filia dan membawanya ke sebuah tempat. Tanpa banyak bicara
Filix menunjukan sebuah gubuk bertuliskan “Sekolah Gubuk Filia”. Disana
terdapat banyak anak-anak yang sudah siap menyambut kedatangan Filia. Tanpa
banyak kata-kata, anak-anak tersebut menghampiri dan memeluk Filia dengan rasa
senang. Filia pun bertanya-tanya. Wajahnya yang belum kering dari air mata
terlihat heran sekaligus bahagia. Rupanya Filix merupakan anak seorang pejabat
dinas pendidikan Sulawesi yang sedang melakukan penelitian di Tagulandang untuk
tesisnya. Filix berhasil membujuk warga dan ayahnya untuk merubah keputusannya
setelah selesai rapat bersama Filia. Hari itu juga sekolah gubuk di resmikan oleh ayah Filix dan disaksikan oleh
para warga.
Filia menemukan mimpinya telah terbang dan
tergantikan dengan kenyataan. Sebuah kenyataan yang manis bahwa dirinya bersama
Filix telah mampu merubah keadaan pendidikan di Tagulandang. Masa muda Filia
dihabiskan bersama Filix untuk mengajar warga Tagulandang. Inilah kenyataan.
Bukan mimpi. Mereka senang dan mereka benar-benar pasangan yang berdedikasi
untuk pendidikan.
Sore itu, desir suara ombak menemani mereka.
Matahari kembali bergumam dengan merdunya. Filix berkata kepada Filia, “Vos amo
Filia agentia mutationis². Bahkan lebih dari itu, kamu adalah Putri nyata dalam
kehidupannku. Kamu Putri yang membangun mimpi lalu menghancurkannya kembali
dengan kenyataan”.
Tersenyumlah Filia dan Felix.
Rumah Dalam Mimpi, 30 Januari 2013
Buah Cipta Eli Meiva
No comments:
Post a Comment